MENGANALISIS
TEORI POSTKOLONIAL PADA CERPEN “TAHI LALAT DI DADA ISTRI PAK LURAH”
Dosen
Pengampu :
Dr.
M. Shoim Anwar M.Pd
Oleh:
Alfi
Nur Dina
NIM
(165200043)
PBSI
B 2016
UNIVERSITAS
PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017
Teori Postkolonial
Poskolonial
sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah
satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said
yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan
perspektif Barat dalam memandang Timur. Buku-buku Said seperti Covering Islam:
How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World
(1981) dan Culture and Imperialism
(1993) merupakan sekuel dari buku Orientalisme tersebut. Buku semacam The
Empire Writes Back (1989) suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen
Tiffin merupakan buku lain yang sering dijadikan rujukan dalam pembahasan teori
poskolonial.
Teori
poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang
filsafat, film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya
yang terkait dengan peran kolonial. Bidang ini bukanlah menjadi monopoli kajian
sastra. Poskolonial mirip dengan kajian feminisme yang meliputi bidang kajian
humaniora yang lebih luas; sejajar dengan kajian posmodern atau
postrukturalisme. Dalam bidang sastra, teori poskolonial merupakan salah satu
dari serangkaian munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori strukturalisme
mulai dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam sejarahnya
teori sastra yang mula-mula yaitu teori mimesis pada zaman Plato di Yunani
Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori pragmatis pada zaman Horace dari
Romawi abad ke-4 yang disusul dengan teori yang berorientasi pada
ekspresionisme pada abad ke-19. Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi
pada strukturalisme mendominasi kajian sastra.
Pada
paruh abad ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya
sebatas objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra
selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan
sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan
saling mengisi. Pada paruh akhir abad ke-20, selain strukturalisme yang
mengkaji karya sastra hanya berdasarkan strukturnya, ada juga sejumlah kajian
atau teori sastra yang melibatkan unsur kesejarahannya dan konteks sosialnya.
Teori-teori seperti cultural studies, new historisisme, dan poskolonial untuk
sekedar menyebut contoh merupakan kajian-kajian sastra yang menganalisis karya
sastra dalam konteks kesejarahannya ataupun konteks sosialnya. Poskolonial
merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang berkaitan
dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik maupun
diakronik. Kajian poskolonial berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme
di balik sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu kekuasaan,
kekuasaan kolonial. Sastra dipandang memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk
hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai konter hegemoni.
Seperti
yang diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam dunia
Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient).
Sejumlah karya seni itu telah melegitimasi praktik kolonialisme bangsa Barat
atas kebiadaban Timur. Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam
tugas bagi Barat untuk memberadabkan bangsa Timur. Kajian Said ini memang
berangkat dari teori hegemoni Gramscian dan teori diskursus Foucaultian. Kata
“post” yang dilekatkan dengan kata “colonial” sebetulnya kurang tepat kalau
diindonesiakan menjadi “pasca”. Kasus ini mirip dengan pengindonesiaan kata “discourse”
dalam istilah Foucault yang tidak sama persis maknanya dengan kata “wacana”.
Ada kekhususan. Kata pascakolonial yang seringkali dijadikan terjemahan dari
postcolonial merupakan istilah yang mengacu pada permasalah “waktu setelah”
kolonial. Padahal poskolonial tidak hanya mengacu pada kajian sastra sesudah
masa era penjajahan, atau era kemerdekaan tetapi lebih luas mengacu pada segala
yang terkait dengan kolonialisme yang pada abad ke-21 hanya menyisakan Amerika
sebagai bangsa penjajah yang kesiangan. Konteks poskolonialisme juga mencakup
kasus globalisasi dan perdagangan bebas yang seringkali dianggap sebagai bentuk
neokolonialisme. Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga
poskolonial adalah kajian yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berupa
pasca atau permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti
terpisah dari kolonialisme.
Jangkauan
luar biasa imperialisme Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan
salah satu fakta yang paling menakjubkan dalam sejarah politik. Melalui
penafsirannya yang yang brilian atas kanon-kanon Barat seperti Heart of
Darkness (karya Conrad), Mansfield Park (karya Austen), dan Aida (komposisi
musik karya Verdi), Said menunjukkan bagaimana kebudayaan dan politik bekerja
sama. Sebuah konsep dasar yang dipaparkan pemikir Komunis Italia, Antonio
Gramsci tentang hegemoni yang menyatakan bahwa kekuasaan terbangun atas
dominasi (senjata) dan hegemoni (kebudayaan). Menurut Said, kebudayaan dan
politik pada kasus kolonialisme telah bekerja sama, secara sengaja ataupun
tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan bukan hanya meriam dan
serdadu tetapi suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan dan
imajinasi penguasa dan yang dikuasai. Hasilnya adalah suatu visi yang mengaskan
bahwa bangsa Eropa bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk berkuasa. Argumen
utama dosen kritik sastra Universitas Columbia AS ini adalah bahwa kekuasaan
imperial Barat selalu menemui perlawanan terhadap imperium. Lelaki keturunan
Palestina ini menelaah kesalingketergantungan wilayah-wilayah kultural tempat
kaum penjajah dan terjajah hidup bersama dan saling berperang, dan melacak
kisah-kisah “perlawanan” dalam diri para penulis poskolonial seperti Fanon,
C.L.R. James, Yeats, Chinua Achebe, dan Salman Rusdhie. Dalam dunia poskolonial
sekarang ini, Said mengajukan sanggahan terhadap argumen-argumen yang
mengatakan bahwa kebudayaan dan identitas nasional adalah entitas-entitas yang
tunggal dan murni seperti yang dipaparkannya dalam buku Culture and Imperialism
(yang diindonesiakan oleh Penerbit Mizan menjadi Kebudayaan dan Kekuasaan).
Dengan melucuti pengertian “kita” dan “mereka” dari imperium, Said menunjukkan
bagaimana asumsi-asumsi imperialis yang busuk terus mempengaruhi politik dan
kebudayaan Barat, sejak peliputan media atas Perang Teluk hingga pengajaran
sejarah dan kesusastraan di sekolah-sekolah.
Apa
yang dilakukan Said dalam sejumlah bukunya dalam menelanjangi praktik-praktik
poskolonial tersebut selain berangkat dari teori hegemoni sebetulnya juga
berawal dari konsep diskursus-nya Foucault. Dalam pengertian intelektual
Prancis yang tampil plontos ini, diskursus (yang sering diindonesiakan menjadi
wacana) adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang
menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan
yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling
keterkaitan di antara semua aspek ini. Dengan cakupan pengertian seperti ini,
Foucault menulis salah satu judul bukunya dengan Power/Knowledge, kekuasaan dan
pengetahuan seperti dua sisi mata uang. Kekuasaan (dan sekaligus
pengetahuan) bukanlah sebuah entitas
atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, melainkan
sebuah jaringan yang tersebar di mana-mana dan selalu bergerak atau bergeser.
Orientalisme yang diungkap oleh Edward Said adalah satu bentuk “knowledge”
dalam rangka mengukuh kekuasaan (power) kolonialisme. Sejak itu, di Barat orang
tidak mau lagi diberi predikat orientalis bagi intelektual yang melakukan studi
kawasan Asia-Afrika. Kata “orientalis” telah menjadi kata peyoratif.
Analisis cerpen “Tahi Lalat di Dada
Istri Pak Lurah”
Cerpen
berjudul “Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah” karya M. Shoim Anwar bercerita
tentang realita kehidupan yang dialami
di sekitar kita bukan sebuah mitos tapi benar-benar terjadi dan itu nyata.
Cerpen Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah karya M. Shoim Anwar telah
mengingatkan kita bahwasanya uang dan jabatan di atas segalanya. Cerita lurah
dalam cerpen ini merupakan realita sebenarnya terjadi saat ini. Jabatan dan
kekuasaan sering dijadikan alat bagi para penguasa untuk memeras masyarakat
kecil, sehingga ada kesenjangan antara penguasa dan masyarakat kecil. Hak yang
seharusnya di dapatkan oleh masyarakat kecil seringkali disalahgunakan oleh
penguasa.
Pak
lurah merupakan pemimpin pilihan warga desa. Kehidupan rumah tangga beliau
dengan istrinya mengalami perceraian kemudian pak lurah menikah lagi. Desas
desusnya, ada tahi lalat di dada sebelah kiri istri pak lurah yang kedua ini.
Istri pak lurah yang kedua ini adalah seorang sinden dulunya. Sehingga tidak
heran jika istrinya ini memiliki bentuk tubuh yang membuat mata lelaki tergoda
ketika melihatnya. Pak lurah adalah pemimpin yang sering menggunakan cara-cara
kotor dan menjijikkan. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan
sawah ladangnya dan berganti dengan perumahan mewah. Teori poskolonial sangat
relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang
ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji sangat luas dan beragam, diantaranya:
politik, ideologi, agama, pendidikan, bahasa dan sastra, sekaligus dengan
bentuk praktik dilapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk,
pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.
Pada
cerpen berjudul “Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah” karya M. Shoim Anwar, hegemoni
kuasa merupakan suatu bentuk kekaisaran yang mengendalikan rakyat-rakyat dengan
kekuasaan yang dapat memaksakan tujuannya. Dalam hal ini pak lurah memaksakan
tujuannya dengan cara mengancam agar rakyat menjual tanahnya demi mendapatkan
keuntungan dari persentase diam-diam antara dia dengan pihak pembeli. Seperti
terdapat pada kutipan:
“Kalau tidak mau
menjual akan dipagari oleh pihak pengembang perumahan.”
“Penduduk serba
khawatir. Setelah berulang kali dipanggil pak lurah ke kantor, mereka terpaksa
melepaskan tanahnya karena batas-batas disekitarnya sudah dimiliki pihak
pengembang perumahan.”
“Ada
tersiar berita lagi. Tanah kas desa yang sering dipakai sepak bola para pemuda
kabarnya sudah ditancapi patok-patok oleh pengembang perumahan.”
Berdasarkan
kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa seorang Pak Lurah yang
benar-benar menginginkan tanah warga untuk dijadikan sebagai lahan perumahan
dan otomatis pak lurah mendapatkan keuntungan dari warga yang mau menjual
tanahnya tersebut. Dan penduduk desa merasa diancam agar mau
menjual tanahnya, jika tidak mau menjual, tanah akan dipagari oleh pihak
perumahan. Cara-cara tersebut adalah cara kotor dan menjijikkan demi
mendapatkan keuntungan tersendiri. Banyak penduduk yang bertambah miskin
hidupnya. Sawah dan ladang telah terjual dan tinggal di sepetak yang kini
mereka tempati. Semestinya kehidupan penduduk diperbaiki agar makmur,
diciptakan lapangan kerja baru. Tidak malah mengancam dan membuat penduduk
menjadi miskin. Cara itu termasuk penjajahan =
penguasaan = dominasi = pertentangan antara yang kuat dan lemah.
Daftar Pustaka
Anwar,
M. Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri Pak
Lurah. Lamongan: PustakaIlalang.
Nurhadi. Poskolonial Sebuah Pembahasan. Yogyakarta. staffnew.uny.ac.id/.../POSKOLONIAL+SEBUAH+PEMBAHASAN.pdf
(diunduh pada tanggal 21 Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar