Senin, 12 Juni 2017

Teori Strukturalisme Genetik


MENGANALISIS CERPEN YANG BERJUDUL “JANGAN KE ISTANA, ANAKKU” MENGGUNAKAN TEORI STRUKTURALISME GENETIK
Dosen Pengampu :
Dr. M. Shoim Anwar M.Pd
                                                                                                  




Oleh:
Alfi Nur Dina
NIM (165200043)
PBSI B 2016






UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017



Teori Strukturalisme Genetik

Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Baik strukturalisme dinamik maupun strukturalisme genetik juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra. Perbedaannya, strukturalisme dinamik terbatas dalam melibatkan peranan penulis dan pembaca dalam rangka komunikasi sastra, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh yaitu ke struktur sosial. Langkah-langkah inilah yang berhasil membawa srukturalisme genetik sangat dominan pada periode tertentu, dianggap sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan analisis, baik di Barat maupun di Indonesia.
Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldman, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa Perancis terbit pertama kali tahun 1956. Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya, Jurnal Ilmiah The Philosophical Forum (Vol. XXIII, 1991-1992) secara khusus menerbitkan karya-karya ilmiah dalam kaitannya dengan kepakarannya, khususnya terhadap teori strukturalisme genetik.
Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldman sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi struktur bermakna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur menopang totalitasnya. The Hidden God, di mana konsep-konsep dasarnya ditanamkan kemudian disebut sebagai sosiologi kebudayaan. Menurut Boelhower (baca Goldman, 1981: 14-16), Goldman mulai mengkritik strukturalisme (murni) sekitar tahun 1960-an, dengan cara mengkombinasikan psikologi genetik Piaget, sebagai asimilasi dan akomodasi, dan teori dialektik Marx, sebagai infrastruktur dan superstruktur.
Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik pada puncak kejayaannya, sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an.
Dalam strukturalisme genetik subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia. Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturalisme genetik. Homologi, kelas-kelas sosial, struktur bermakna, dan subjek transindividual diarahkan pada totalitas pemahaman yang dianggap sebagai kesimpulan suatu penelitian. Pandangan dunialah yang memicu subjek untuk mengarang, identifikasi pandangan dunia yang dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. Dengan kalimat lain, mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari.
Secara definitif Goldman (1977: 25) menjelaskan pandangan dunia sebagai ekspresi psike melalui hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan lingkungan sosial dan fisik, dan terjadi dalam periode bersejarah yang panjang. Pandangan dunia bukanlah ideologi sebagaimana terkandung dalam pemahaman Marxisme atau pemahaman masyarakat pada umumnya. Konsep-konsep yang mendasari pandangan dunia harus digali melalui dan di dalam kelompok yang bersangkutan dengan melibatkan indikator sistem kepercayaan, sejarah intelektual, dan sejarah kebudayaan secara keseluruhan. Penelitian terhadap primordial dan berbagai kecenderungan masa lampau yang masih sangat dominan di Indonesia, misalnya, memerlukan pelacakan terhadap fakta-fakta sejarah kebudayaan yang meliputi masa ratusan bahkan ribuan tahun.
Secara metodologis, dalam strukturalisme genetik Goldman menyarankan untuk menganalisis karya sastra yang besar, bahkan suprakarya. Pada dasarnya hamper semua teori memberikan indikasi karya besar seperti itu sebab semata-mata dalam karya besarlah terkandung berbagai aspek kehidupan yang problematis. Semata-mata dalam karya yang besar peneliti secara bebas memasuki wilayah kehidupan, ruang-ruang kosong sebagaimana disajikan oleh pengarangnya. Sebaliknya, dalam karya yang tidak bermutu, peneliti hanya menemukan unsur-unsur yang terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya yang dengan sendirinya tidak memungkinkan untuk menyajikan masalah-masalah kehidupan secara maksimal. Menurut Goldmann hanya karya besar yang mampu untuk mengevokasi pandangan dunia.
Secara definitif strukturalisme genetik harus mmenjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian, langkah-langkah yang dilakukan, di antaranya: a) meneliti unsur-unsur karya sastra, b) hubungan unsur-unsur karya sastra, c) meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra, d) hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

Analisis Cerpen “Jangan Ke Istana, Anakku”
            Menurut teori strukturalisme genetik yang sudah dikemukakan Goldman, pada cerpen yang berjudul “Jangan Ke Istana, Anakku” karya M. Shoim Anwar tokoh yang diceritakan di dalamnya bersifat idealisme abstrak dalam memandang dunia. Mengapa demikian? Hal ini dapat diketahui ketika pada tokoh “aku” menceritakan kisah masa lalunya tentang pahitnya hidup dalam kurungan pagar istana. Sebagaimana pahitnya hidupnya pada masa itu sehingga dia tidak ingin putrinya yang bernama Dewi untuk masuk ke dalam istana yang laknat itu. Dia ingin membangunkan sebuah gubuk pada anaknya, bukan sebuah istana. Sebab dari gubuk itu menurut tokoh “aku” sang anak bisa memandang udara terbuka dengan angin semilir yang menggoyangkan dahan-dahan dengan cinta, bukan seperti di dalam istana seperti yang pernah dijalaninya.
            Perih menusuk dadanya berkali-kali saat sang anak merengek meminta “Papa, kapan kita ke istana?” jawabku sebagai pengenang masa lalu yang kelam yang trauma dengan kehidupan buruk di istana yang kualami hanya bisa membujuknya berkali-kali. Masih teringat jelas dalam ingatan tokoh “aku” penjaga istana menjadikannya pemisah antara hubunganku dengan istriku. Dengan alasan tidak ingin rahasia yang ada diistana dibocorkan kepada orang lain, istana mewajibkan “aku” menjadi penjaga. Istriku menangis, karena harus dipisah. Kami sama-sama tak berdaya. Menjadi penjaga, hidup di barak samping istana, tak boleh pulang bertahun-tahun lamanya. Dunia luar mungkin bahagia karena hidup di dunia terbuka, tapi kami masih hidup berselimut perih terkurung di dalam peti.
            Alur yang digunakan pada cerpen ini adalah alur campuran. Sebagaimana diceritakan tokoh “aku” yang hidup di usia yang bisa dikatakan tidak muda lagi, yang tak mengikuti perkembangan tumbuh putri semata wayangnya hingga memasuki usia remaja. Saat itu juga tokoh “aku” mengenang bagaimana pedih hidupnya saat menjadi istana yang megah, namun semuanya hanyalah kepura-puraan belaka. Keluarga istana memang berkuasa tanpa batas, mereka berkuasa atas segalanya. Tempat-tempat penting telah dimilikinya dengan berbagai cara, berbagai harta, nyawa, bumi dan air, segalanya diubah menjadi milik istana. Sungguh kejam jika diingat-ingat. Tidak berhenti sampai disitu saja, istana juga merampas istriku, menjadikan ia sebagai penari istana, penari yang raib ditelan istana. Hilang. Bertahun-tahun lamanya tak kunjung kembali. Dulu, aku ingat sekali bagaimana kenangan hidupku dan istriku terukir sangat indah. Namun kini, tinggal pilu sesak di dalam dada. Jalanan tanah berdebu, di bawah pohon depan rumahnya, di situlah cinta “aku” dan Trihayu tumbuh mengakar. Hingga aku berniat untuk menjadikan dia sebagai pendamping hidupku selamanya. Hingga akhirnya “aku” dan Trihayu dikaruniai seorang putrid, namun sayang setelah dua tahun melahirkan Dewi, istriku menerobos masuk ke istana sehingga dijadikannyalah ia sebagai penari dalam istana tersebut. Akhirnya terfikir olehku untuk menitipkan Dewi pada keponakanku, kemudian Dewi dibawa dan diasuh menjauh dari wilayah kekuasaan istana. Gaya hidupnya sudah berbeda, namun dia tetap dikenalkan siapa “aku” dan Trihayu sebagai orang tuanya. Hingga suatu hari para penjaga istana itu kembali mencekalku untuk dibawa ke istana lagi, dengan alasan yang sama. Pemandangan yang sama yang kutemui, suasana istana yang tak ramah, jarang ada komunikasi antar penjaga. Komunikasi penjaga hanya sebatas bercakap ketika mereka sedang dikumpulkan di lapangan. Namun sayang, harapanku satu-satunya akhirnya dibawa masuk ke istana. Tubuhku terasa meleleh, mengingat istriku yang dibawa ke dalam istana hingga ia hilang tiada kabarnya. Sekarang anak kesayanganku lepas dari pelukanku, aku tak berdaya atas semua yang sudah kualami. Aku sedih mengapa aku, anakku, dan istriku harus diganyang oleh istana.



Daftar Pustaka
Anwar, M. Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah. Lamongan: PustakaIlalang.
Kutha Ratna, Nyoman. 2013. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teori Postkolonial


MENGANALISIS TEORI POSTKOLONIAL PADA CERPEN “TAHI LALAT DI DADA ISTRI PAK LURAH”
Dosen Pengampu :
Dr. M. Shoim Anwar M.Pd





Oleh:
Alfi Nur Dina
NIM (165200043)
PBSI B 2016






UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017



Teori Postkolonial

Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif Barat dalam memandang Timur. Buku-buku Said seperti Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1981)  dan Culture and Imperialism (1993) merupakan sekuel dari buku Orientalisme tersebut. Buku semacam The Empire Writes Back (1989) suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin merupakan buku lain yang sering dijadikan rujukan dalam pembahasan teori poskolonial.
Teori poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait dengan peran kolonial. Bidang ini bukanlah menjadi monopoli kajian sastra. Poskolonial mirip dengan kajian feminisme yang meliputi bidang kajian humaniora yang lebih luas; sejajar dengan kajian posmodern atau postrukturalisme. Dalam bidang sastra, teori poskolonial merupakan salah satu dari serangkaian munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori strukturalisme mulai dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam sejarahnya teori sastra yang mula-mula yaitu teori mimesis pada zaman Plato di Yunani Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori pragmatis pada zaman Horace dari Romawi abad ke-4 yang disusul dengan teori yang berorientasi pada ekspresionisme pada abad ke-19. Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi pada strukturalisme mendominasi kajian sastra.
Pada paruh abad ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya sebatas objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan saling mengisi. Pada paruh akhir abad ke-20, selain strukturalisme yang mengkaji karya sastra hanya berdasarkan strukturnya, ada juga sejumlah kajian atau teori sastra yang melibatkan unsur kesejarahannya dan konteks sosialnya. Teori-teori seperti cultural studies, new historisisme, dan poskolonial untuk sekedar menyebut contoh merupakan kajian-kajian sastra yang menganalisis karya sastra dalam konteks kesejarahannya ataupun konteks sosialnya. Poskolonial merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik maupun diakronik. Kajian poskolonial berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai konter hegemoni.

 A.    Kolonialisme/Orientalisme
Seperti yang diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam dunia Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient). Sejumlah karya seni itu telah melegitimasi praktik kolonialisme bangsa Barat atas kebiadaban Timur. Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat untuk memberadabkan bangsa Timur. Kajian Said ini memang berangkat dari teori hegemoni Gramscian dan teori diskursus Foucaultian. Kata “post” yang dilekatkan dengan kata “colonial” sebetulnya kurang tepat kalau diindonesiakan menjadi “pasca”. Kasus ini mirip dengan pengindonesiaan kata “discourse” dalam istilah Foucault yang tidak sama persis maknanya dengan kata “wacana”. Ada kekhususan. Kata pascakolonial yang seringkali dijadikan terjemahan dari postcolonial merupakan istilah yang mengacu pada permasalah “waktu setelah” kolonial. Padahal poskolonial tidak hanya mengacu pada kajian sastra sesudah masa era penjajahan, atau era kemerdekaan tetapi lebih luas mengacu pada segala yang terkait dengan kolonialisme yang pada abad ke-21 hanya menyisakan Amerika sebagai bangsa penjajah yang kesiangan. Konteks poskolonialisme juga mencakup kasus globalisasi dan perdagangan bebas yang seringkali dianggap sebagai bentuk neokolonialisme. Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga poskolonial adalah kajian yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berupa pasca atau permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme.
Jangkauan luar biasa imperialisme Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan salah satu fakta yang paling menakjubkan dalam sejarah politik. Melalui penafsirannya yang yang brilian atas kanon-kanon Barat seperti Heart of Darkness (karya Conrad), Mansfield Park (karya Austen), dan Aida (komposisi musik karya Verdi), Said menunjukkan bagaimana kebudayaan dan politik bekerja sama. Sebuah konsep dasar yang dipaparkan pemikir Komunis Italia, Antonio Gramsci tentang hegemoni yang menyatakan bahwa kekuasaan terbangun atas dominasi (senjata) dan hegemoni (kebudayaan). Menurut Said, kebudayaan dan politik pada kasus kolonialisme telah bekerja sama, secara sengaja ataupun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan bukan hanya meriam dan serdadu tetapi suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan dan imajinasi penguasa dan yang dikuasai. Hasilnya adalah suatu visi yang mengaskan bahwa bangsa Eropa bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk berkuasa. Argumen utama dosen kritik sastra Universitas Columbia AS ini adalah bahwa kekuasaan imperial Barat selalu menemui perlawanan terhadap imperium. Lelaki keturunan Palestina ini menelaah kesalingketergantungan wilayah-wilayah kultural tempat kaum penjajah dan terjajah hidup bersama dan saling berperang, dan melacak kisah-kisah “perlawanan” dalam diri para penulis poskolonial seperti Fanon, C.L.R. James, Yeats, Chinua Achebe, dan Salman Rusdhie. Dalam dunia poskolonial sekarang ini, Said mengajukan sanggahan terhadap argumen-argumen yang mengatakan bahwa kebudayaan dan identitas nasional adalah entitas-entitas yang tunggal dan murni seperti yang dipaparkannya dalam buku Culture and Imperialism (yang diindonesiakan oleh Penerbit Mizan menjadi Kebudayaan dan Kekuasaan). Dengan melucuti pengertian “kita” dan “mereka” dari imperium, Said menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi imperialis yang busuk terus mempengaruhi politik dan kebudayaan Barat, sejak peliputan media atas Perang Teluk hingga pengajaran sejarah dan kesusastraan di sekolah-sekolah. 
Apa yang dilakukan Said dalam sejumlah bukunya dalam menelanjangi praktik-praktik poskolonial tersebut selain berangkat dari teori hegemoni sebetulnya juga berawal dari konsep diskursus-nya Foucault. Dalam pengertian intelektual Prancis yang tampil plontos ini, diskursus (yang sering diindonesiakan menjadi wacana) adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Dengan cakupan pengertian seperti ini, Foucault menulis salah satu judul bukunya dengan Power/Knowledge, kekuasaan dan pengetahuan seperti dua sisi mata uang. Kekuasaan (dan sekaligus pengetahuan)  bukanlah sebuah entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, melainkan sebuah jaringan yang tersebar di mana-mana dan selalu bergerak atau bergeser. Orientalisme yang diungkap oleh Edward Said adalah satu bentuk “knowledge” dalam rangka mengukuh kekuasaan (power) kolonialisme. Sejak itu, di Barat orang tidak mau lagi diberi predikat orientalis bagi intelektual yang melakukan studi kawasan Asia-Afrika. Kata “orientalis” telah menjadi kata peyoratif.

Analisis cerpen “Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah”
Cerpen berjudul “Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah” karya M. Shoim Anwar bercerita tentang  realita kehidupan yang dialami di sekitar kita bukan sebuah mitos tapi benar-benar terjadi dan itu nyata. Cerpen Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah karya M. Shoim Anwar telah mengingatkan kita bahwasanya uang dan jabatan di atas segalanya. Cerita lurah dalam cerpen ini merupakan realita sebenarnya terjadi saat ini. Jabatan dan kekuasaan sering dijadikan alat bagi para penguasa untuk memeras masyarakat kecil, sehingga ada kesenjangan antara penguasa dan masyarakat kecil. Hak yang seharusnya di dapatkan oleh masyarakat kecil seringkali disalahgunakan oleh penguasa.
Pak lurah merupakan pemimpin pilihan warga desa. Kehidupan rumah tangga beliau dengan istrinya mengalami perceraian kemudian pak lurah menikah lagi. Desas desusnya, ada tahi lalat di dada sebelah kiri istri pak lurah yang kedua ini. Istri pak lurah yang kedua ini adalah seorang sinden dulunya. Sehingga tidak heran jika istrinya ini memiliki bentuk tubuh yang membuat mata lelaki tergoda ketika melihatnya. Pak lurah adalah pemimpin yang sering menggunakan cara-cara kotor dan menjijikkan. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladangnya dan berganti dengan perumahan mewah. Teori poskolonial sangat relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji sangat luas dan beragam, diantaranya: politik, ideologi, agama, pendidikan, bahasa dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik dilapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.
Pada cerpen berjudul “Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah” karya M. Shoim Anwar, hegemoni kuasa merupakan suatu bentuk kekaisaran yang mengendalikan rakyat-rakyat dengan kekuasaan yang dapat memaksakan tujuannya. Dalam hal ini pak lurah memaksakan tujuannya dengan cara mengancam agar rakyat menjual tanahnya demi mendapatkan keuntungan dari persentase diam-diam antara dia dengan pihak pembeli. Seperti terdapat pada kutipan:
“Kalau tidak mau menjual akan dipagari oleh pihak pengembang perumahan.”
“Penduduk serba khawatir. Setelah berulang kali dipanggil pak lurah ke kantor, mereka terpaksa melepaskan tanahnya karena batas-batas disekitarnya sudah dimiliki pihak pengembang perumahan.”
“Ada tersiar berita lagi. Tanah kas desa yang sering dipakai sepak bola para pemuda kabarnya sudah ditancapi patok-patok oleh pengembang perumahan.”

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa seorang Pak Lurah yang benar-benar menginginkan tanah warga untuk dijadikan sebagai lahan perumahan dan otomatis pak lurah mendapatkan keuntungan dari warga yang mau menjual tanahnya tersebut. Dan penduduk desa merasa diancam agar mau menjual tanahnya, jika tidak mau menjual, tanah akan dipagari oleh pihak perumahan. Cara-cara tersebut adalah cara kotor dan menjijikkan demi mendapatkan keuntungan tersendiri. Banyak penduduk yang bertambah miskin hidupnya. Sawah dan ladang telah terjual dan tinggal di sepetak yang kini mereka tempati. Semestinya kehidupan penduduk diperbaiki agar makmur, diciptakan lapangan kerja baru. Tidak malah mengancam dan membuat penduduk menjadi miskin. Cara itu termasuk penjajahan = penguasaan = dominasi = pertentangan antara yang kuat dan lemah.

Daftar Pustaka

Anwar, M. Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah. Lamongan: PustakaIlalang.
Nurhadi. Poskolonial Sebuah Pembahasan. Yogyakarta. staffnew.uny.ac.id/.../POSKOLONIAL+SEBUAH+PEMBAHASAN.pdf (diunduh pada tanggal 21 Mei 2017)

Teori Feminisme


MAKALAH
TEORI FEMINISME
Dosen Pengampu :
Dr. M. Shoim Anwar M.Pd



Oleh :
2016-B/ Kelompok 7
1. Heronimus Puji Santoso               (165200018)
2. Alfi Nur Dina                                (165200043)
3. Sri Wulan P                                   (165200079)
4 Fheren Noven Isnaini                    (165200088)


UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017



Kata Pengantar
                                                                                                 
Puji syukur atas kehadirat allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Teori Feminisme ini tepat waktu. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua teman atau kerabat yang mendukung kami untuk menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah SWT membalas semua amal budi baik mereka dan selalu memberi rahmat dan anugerahnya kepada mereka semua.
Dalam menyusun makalah ini kami merasa masih kurang dari sempurna, karena keterbatasan kami sendiri dalam penguasaan ilmu pengetahuan maupun pengalaman. Untuk itu kami mohon dapatnya memberi saran dan kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca sangat kami harapkan, semoga dengan makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.




                                                                                                            Surabaya,  24 April 2017





Teori Feminisme

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), yang berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis dan kultural). Dengan kalimat lain, male-female mengacu pada seks, sedangkan masculine-feminine mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she (Shelden, 1986: 132). Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disurbodinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender.
Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Perkembangannya yang sangat pesat, yaitu sebagai salah satu aspek teori kebudayaan kontemporer, terjadi tahun 1960-an. Model analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teeuw (naskah belum diterbitkan), beberapa indikator yang telah dianggap memicu lahirnya gerakan feminis di dunia Barat tersebut, sebagai berikut.
1.      Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
2.      Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3.      Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional, misalnya, ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan sebagainya.
4.      Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
5.      Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan.
6.      Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan strukturalisme.
7.      Ketidakpuasan terhadap teori praktik dan ideologi Marxisorthodoks, tidak terbatas sebagai Marxis Sovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.

Teori Feminisme Liberal
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228). 
Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik. 

Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999: 225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya.
Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif. Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143). 

Teori Feminisme Radikal
Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna Megawangi, 1999: 226).
Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.

Teori Ekofeminisme
Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).
Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna Megawangi, 1999: 183).


Daftar Pustaka
Kutha Ratna, Nyoman. 2013. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 Marzuki. Kajian Awal Tentang Teori dan Gender. Yogyakarta. journal.uny.ac.id/index.php/civics/article/download/6032/5221 (diunduh pada tanggal 24 April 2017)

Pengertian Puisi

PENGERTIAN PUISI
Dosen Pengampu :
Dr. M. Shoim Anwar M.Pd





Oleh :
2016-B/ Kelompok 7
1. Heronimus Puji Santoso               (165200018)
2. Alfi Nur Dina                                (165200043)
3. Sri Wulan P                                   (165200079)
4 Fheren Noven Isnaini                    (165200088)

UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017


Teori Struktur Puisi
            Puisi sebagai salah sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari berbagai macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Begitu juga, puisi dapat dikaji dari sudut kesejarahannya, mengingat bahwa sepanjang sejarahnya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca orang. Shahnon Ahmad (1978: 3) mengumpulkan definisi-definisi puisi yang dikemukakan oleh penyair romantic Inggris. Menurut Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan yang terindah. Menurut Carlyle, puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Menurut Wordsworth, puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun pendapat dari Auden, puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur, sedangkan menurut Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama.
Jadi, puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Selain pengertian puisi, kalian juga perlu memahami struktur puisi. Adapun struktur puisi dibagi menjadi dua:
a)      Struktur Fisik
1.      Diksi, yaitu pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
2.      Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.
3.      Kata konkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indra yang memungkinkan munculnya imaji.
4.      Gaya bahasa (bahasa figurative), yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu.
5.      Rima/irama, yaitu persamaan bunyi pada puisi, baik diawal, tengah, dan akhir baris puisi.

b)Struktur Batin
1.      Tema/makna: media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
2.      Rasa, yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
3.      Nada, yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca.
4.      Amanat/tujuan/maksud, yaitu pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca.


DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. 2014. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Rosana, Dewi dan Gunawan Budi Santoso. 2015. Bahasa Indonesia. Sidoarjo:  Masmedia.

Analisis unsur intrinsik pesta keluarga


ANALISIS UNSUR INTRINSIK PADA CERPEN “PESTA KELUARGA” KARYA M. SHOIM ANWAR
Dosen Pengampu :
Dr. M. Shoim Anwar M.Pd



Oleh :
2016-B/ Kelompok 7
1. Heronimus Puji Santoso               (165200018)
2. Alfi Nur Dina                                (165200043)
3. Sri Wulan P                                   (165200079)
4 Fheren Noven Isnaini                    (165200088)

UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017

Teori Struktural (Unsur Intrinsik)
Dalam menganalisis sebuah karya sastra, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengkaji sebuah karya sastra. Setelah proses mengkaji tersebut selesai, muncullah konsep yang dinamakan teori sastra / teori struktural sastra. Teori struktural sastra adalah sebuah teori sastra yang digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra tertentu yang dimana sebagai objek kajiannya adalah sistem sastra itu sendiri, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh.
Adapun unsur dalam teks sastra yang dimaksud adalah seperti unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun dari dalam pada sebuah cerita.Sedangkan, pengertian dari unsur ekstrinsik adalah unsur dari luar pada sebuah cerita, meskipun bearasal dari luar unsur ekstrinsik juga berpengaruh dan dibutuhkan untuk membangun sebuah cerita agar terlihat lebih hidup.
Berikut akan dibahas lebih rinci tentang bagian apa saja yang terdapat dalam unsur intrinsik:
a.       Tema
Tema adalah gagasan utama/pikiran pokok.Tema merupakan pokok pembicaraan yang mendasari cerita.Tema bersifat menjiwai keseluruhan cerita dan mempunyai generalisasi yang umum, oleh karena itu, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi harus disimpulkan dari seluruh cerita, tak hanya bagian-bagian tertentu dari cerita.Tema sebagai salah satu unsur fiksi sangat berkaitan erat dengan unsur-unsur yang lainnya.
b.      Penokohan dan watak
Penokohohan adalah pelaku pada sebuah cerita.Tiap-tiap tokoh biasanya memiliki watak, sikap, sifat, dan kondisi fisik sendiri-sendiri.Sedangkan watak adalah pemberian sifat pada pelaku-pelaku cerita. Sifat yang diberikan akan tercermin pada pikiran, ucapan, dan pandangan tokoh terhadap sesuatu.
c.       Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah cerita. Bagian-bagian alur adalah sebagai berikut:
1.      Tahap penyituasian atau pengantar/pengenalan
Tahap pembuka cerita atau pemberian informasi awal, terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
2.      Tahap pemunculan konflik
Tahap awal munculnya konflik.Konflik dapat berkembang pada tahap berikutnya.Peristiwa-peristiwa yang menjadi inti cerita semakin mencengangkan dan menegangkan.
3.      Tahap klimaks
Konflik-konflik yang terjadi atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
4.      Tahap peleraian
Penyelesaian pada klimaks, ketegangan dikendurkan, konflik-konflik tambahan diberi jalan keluar, kemudian cerita diakhiri, disesuaikan dengan tahap akhir diatas.
5.      Tahap penyelesaian
Konflik sudah diatasi/diselesaikan oleh tokoh.Cerita dapat diakhiri dengan gembira atau sedih.
d.      Latar
Latar merupakan keterangan yang menyebutkan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa pada sebuah karya sastra. Jenis-jenis latar:
1.      Latar waktu
Keterangan tentang kapan peristiwa itu terjadi.Misal, pagi, siang, sore, malam.
2.      Latar tempat
Keterangan tempat peristiwa itu terjadi.Missal dirumah, disekolah.
3.      Latar suasana
Latar suasana menggambarkan peristiwa yang terjadi.Misal, gembira, sedih, romantis.
e.       Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa yang dapat menghidupakan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu.
f.       Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita.
g.      Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang adalah cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu.
            Setelah mengetahui bagian apa saja yang terdapat dalam unsur intrinsik, berikut akan dibahas dalam contoh sebuah cerpen yang berjudul ”Pesta Keluarga”.
Tema :
Tema yang digunakan dalam cerpen ini adalah “Nasib tukang angkot dan segumpal daging”
Tema tersebut diambil karena nasib yang dialami Pak Rais selama menjadi supir angkot, entah itu saat Pak Rais mengeluh karena keadaan penumpangnya yang sepi ataupun penghasilan yang didapat. Selain itu juga, suatu hari Pak Rais mendapatkan sesuatu dari angkotnya. Semula dikira itu adalah sesuatu yang baik yang di dapat, namun sayang ternyata tidak, justru malah mendatangkan penyakit bagi keluarganya setelah memakannya.
Penokohan dan watak :
·         Pak Rais
-          Mudah tersinggung
“Aku manggut-manggut. Omongan perempuan itu makin membuatku kecut…”(Anwar, 2017:98)
-          Mudah mengeluh
“Sial, perempuan ini turun menjelang rute berakhir.Ini berarti aku harus menjalankan terus bemo ini hingga beberapa kilometer lagi.Tak bisa mangkal untuk menunggu penumpang terlalu lama.” (Anwar, 2017:98)
-          Bertanggung jawab
“Ini tanggung jawabku”
“Nggak enak ah”
Aku tetap mempertahankan daging itu.Tapi, hingga pukul satu siang, belum juga ada yang menanyakan. Padahal aku sudah melewati rute dan mangkal di tempat yang sama. (Anwar, 2017:100)
-          Mudah terpengaruh
“…Ada rasa tidak nyaman, tapi, di sisi lain, muncul juga rasa senang.” (Anwar, 2017:100)
“…Tak ada pilihan lain, aku akhirnya menurut saja pada kehendak mereka.”
“Tolong ada yang dibuat empal,” aku akhirnya punya usulan juga. (Anwar, 2017:101)
-          Jujur
“Tapi ini milik orang” aku menjawab lagi. (Anwar, 2017:100)
“Tapi itu bukan milik kita,” aku menyela. (Anwar, 2017:101)
-          Mudah putus asa
“…Aku menerawang ke langit-langit. Terlintas juga dalam pikiranku untuk mencari pekerjaan lain. Sopir bemo semakin lama semakin tidak memiliki harapan.” (Anwar, 2017:101)
-          Tidak sabar
“…Para sopir, termasuk aku tentunya, sering terlibat pertengkaran karena rebutan penumpang. Tempo hari bahkan kami nyaris tawuran dengan pengemudi bus kota karena rebutan jalur. Lahan kami makin sempit.” (Anwar, 2017:101-102)
-          Ramah
“Mari masuk, mbak” aku mempersilahkan sang tamu. (Anwar, 2017:104)
·         Penumpang bemo
-          Ramah
“Sepi,” katanya sambil kipas-kipas mengusir udara panas dan debu.(Anwar, 2017:97)
·         Markasan
-          Ingin tau
“Matang apa mentah?” Tanya Markasan. (Anwar, 2017:100)
·         Pardi
-          Egois
“Kalau tidak berani aku saja yang bawa,” Pardi menyodorkan tangannya. (Anwar, 2017:100)
·         Hadi
-          Ingin tau
“Daging apa?” (Anwar, 2017:100)
·         Bagio
-          Humoris
“Daging istri Hadi sudah kisut,” Bagio menambahkan celetukan.Tertawaan mereka makin ramai. (Anwar, 2017:100)
·         Istrinya Pak Rais
-          Polos
“Wah cocok untuk rawon, kata istriku ketika memerikasa daging dalam kotak yang aku sodorkan. (Anwar, 2017:101)
-          Serakah
“Masih banyak, nanti malam kita makan lagi” istriku menenangkan. (Anwar, 2017:104)
·         Neti
-          Polos
“Gulai” usul Neti anak perempuanku. (Anwar, 2017:101)
·         Andi dan Rudi
-          Polos
“Aku minta sate” kata Andi.
“Aku juga” Rudi ikut-ikutan. (Anwar, 2017:101)
-          Serakah
“… Mulut Rudi terlihat penuh.Tangan kirinya memegang tiga tusuk sate.Meski begitu, matanya masih jelalatan mengawasi gulai di mangkuk yang kembali aku ciduk.Istriku manggut-manggut sambil mengeremus daging.” (Anwar, 2017:103)
“Nanti aku makan lagi,” kata Andi.
“Aku juga” Rudi menyahut. (Anwar, 2017:104)
·         Mahasiswa
-          Teledor
“…Kami juga ingin mengadakan penelitian lebih lanjut. Tapi, Pak, eee… bahan yang akan kami teliti tadi apa tertinggal di bemo Bapak?” (Anwar, 2017:105)
-          Jujur
“Bukan daging, Pak. Itu adalah tumor yang telah kami ambil.” (Anwar, 2017:105)

Alur :
Alur yang digunakan dalam cerpen ini adalah alur maju, itu berarti jalan ceritanya tidak dominan membahas masa lampau.
a.       Tahap pengenalan
“Pukul sepuluh, bagi pengemudi bemo atau mikrolet, adalah jam mati.Penumpang sudah mulai sepi. Mereka yang berangkat ke kantor, para buruh, pekerja kasar, anak-anak sekolah, serta mereka yang berbelanja ke pasar sudah pada nyampai di tempatnya. Jalanan sudah mulai agak sepi….” (Anwar, 2017:97)
“Bemo yang aku kemudikan akhirnya sampai di dekat stasiun.Satu-satunya penumpang itu turun juga dan berjalan minggir ke tempat yang teduh.” (Anwar, 2017:99)
b.      Tahap pemunculan konflik
“Bu, barangnya ketinggalan!” aku memanggilnya agak keras.” (Anwar, 2017:99)
“Ada orang mencari barangnya yang ketinggalan di bemo?” tanyaku pada teman-teman sopir di pangkalan.” (Anwar, 2017:100)
“Aku tetap mempertahankan daging itu.Tapi, hingga pukul satu siang, belum juga ada yang menanyakan. Padahal aku sudah melewati rute dan mangkal di tempat yang sama. Aku khawatir, jika dibiarkan tentu daging itu akan membusuk dan baunya bisa menyebar….” (Anwar, 2017:100)

c.       Tahap klimaks
“Begini, Pak,” tamu yang cantik itu melanjutkan, “kami adalah mahasiswa kedokteran,.Sudah dua minggu kami ikut praktik di rumah sakit bagian bedah.Kami juga ingin mengadakan penelitian lebih lanjut. Tapi, Pak, eee… bahan yang akan kami teliti tadi apa tertinggal di bemo Bapak?”
Aku agak gugup.Bagaimana harus menjawabnya.
“Eee… tidak,” aku menggeleng-geleng.
“Maaf, Pak. Barangnya tidak berharga.Tapi itu sangat kami perlukan.Kami telah mengumpulkannya selama dua minggu.Ada dalam tas plastik warna putih.”
“Apa barangnya itu?” aku pura-pura bertanya.
“Begini, Pak. Banyak orang menderita penyakit dalam tubuhnya.Ada yang di bawah kulit, di otak, kandungan, rahim, payudara, usus, dan lainnya. Kami ingin meneliti penyakit itu”
“Ya ya… terus?”
“Nah, hasil operasi dari semua operasi tadi apa tertinggal di bemo Bapak?”
“Eee…,” aku terdiam beberapa lama. “Eee… daging…?”
“Bukan daging, Pak. Itu adalah tumor yang telah kami ambil.”
“Tu…tumor…?” aku meremas mulut.
“Ya, Pak, yang mirip daging dalam tas plastik putih itu adalah tumor.” (Anwar, 2017:105)
d.      Tahap peleraian
“Huuuek!” isi perutku pun menyembul keluar.Tumpah dan meluber ke lantai.
“Huuuek!” istriku kembali muntah, lalu disusul lagi oleh anak-anak.
“Haaaiiik!”
“Kreezzz!”
“Khrruuuek!”
Kami sekeluarga muntah bersamaan.Rasanya tak bisa berhenti. Semua isi perut memberontak keluar… (Anwar, 2017:106)

Latar :
·         Latar tempat
-          Tempat mangkal oprasi bemo
“…Itulah sebabnya banyak sopir yang memilih mangkal tidak beroperasi atau pulang. Mereka akan kembali mencari penumpang ketika sore hari saat para pekerja beranjak pulang.” (Anwar, 2017:97)
“Ada orang mencari barangnya yang ketinggalan di bemo?” tanyaku pada teman-teman sopir di pangkalan. (Anwar, 2017:100)



-          Dapur rumah Pak Rais
“…Tak lama setelah itu ada bau daging terbakar. Ini mungkin anak-anak lagi membuat sate.Aku beranjak ke dapur. Ternyata benar, Neti sedang membakar sate di depan pintu belakang.” (Anwar, 2017:102)
-          Di meja makan rumah Pak Rais
“Sore itu, tidak seperti biasanya, kami makan lebih awal.Mumpung semua masih hangat.Kami sudah duduk berkeliling di meja makan.” (Anwar, 2017:103)
“…Terlihat istri dan ketiga anakku muntah-muntah dengan wajah merah padam. Muntahannya meluber di meja makan.” (Anwar, 2017:105)
-          Ruang tamu rumah Pak Rais
“Mari masuk, Mbak,” aku mempersilakan sang tamu. (Anwar, 2017:104)
·         Latar waktu
-          Siang hari
“Sepi” katanya sambil kipas-kipas udara panas dan debu kemarau. (Anwar, 2017:97)
“Tambah siang udara makin panas dan berdebu.Penumpang masih tetap satu orang.” (Anwar, 2017:98)
-          Sore hari
“Sore itu, tidak seperti biasanya, kami makan lebih awal.”(Anwar, 2017:103)
·         Latar suasana
-          Gelisah
“Aku tetap mempertahankan daging itu.Tapi, hingga pukul satu siang, belum juga ada yang menanyakan. Padahal aku sudah melewati rute dan mangkal di tempat yang sama. Aku khawatir, jika dibiarkan tentu daging itu akan membusuk dan baunya bisa menyebar. Aku pun terpaksa membawa daging itu pulang.” (Anwar, 2017:100)
-          Gembira
“Wah cocok untuk rawon,” kata istriku ketika memeriksa daging dalam kotak yang aku sodorkan.Wajahnya tampak berbinar-binar.
“Mereka tampak gembira dengan daging itu.Istriku segera membawanya ke dapur.” (Anwar, 2017:101)
-          Gugup
“Aku agak gugup.Bagaimana harus menjawabnya.”
“Eee… tidak,” aku menggeleng-geleng.
“Apa barangnya itu?” aku pura-pura bertanya. (Anwar, 2017:105)

Gaya bahasa :
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen yang berjudul “Pesta Keluarga” ini adalah menggunakan Majas Retorik dan Majas Personifikasi. Pengertian dari majas retorik sendiri adalah majas yang berupa kalimat tanya namun tak memerlukan jawaban. Berikut bentuk kutipan majas retorik dalam cerpen “Pesta Keluarga” terdapat pada kalimat “Mana mungkin aku ingat jumlah dan wajahnya?” (Anwar, 2017:99)
Majas Personifikasi adalah majas yang membandingkan benda-benda tak bernyawa seolah-olah mempunyai sifat seperti manusia. Berikut bentuk kutipan majas personifikasi pada cerpen “Pesta Keluarga” terdapat pada kalimat “…Wajahnya tampak berbinar-binar” (Anwar, 2017:101)
Selain itu juga, bahasa yang digunakan dalam cerpen “Pesta Keluarga” adalah bahasa yang sering digunakan sehari-hari sehingga lebih mudah dipahami.
Amanat :
-          Jangan mudah terpengaruh dengan keadaan
-          Hendaknya tidak menggunakan barang yang bukan milik kita
-          Bersikaplah lebis sabar dalam menghadapi keadaan
-          Jangan menilai sesuatu itu baik padahal belum jelas asal usulnya
Sudut pandang :
Dalam cerpen ini menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama.Sebab penulis lebih banyak menggunakan kata “aku” dan seolah-olah penulis menggambarkan dirinya pada cerita tesebut.Seperti contoh dalam kutipan “Aku berusaha mengingat-ingat siapa saja penumpang yang duduk di dekatku dari tadi.” (Anwar, 2017:99)


Daftar Pustaka

Anwar, M. Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah. Lamongan: PustakaIlalang.
Rosana, Dewi dan Gunawan Budi Santoso. 2015. Bahasa Indonesia. Sidoarjo: Masmedia.
Rohmatullah. 2013. Pengertian Majas, Contoh & Macam-macam Majas. http://rohmatullahh.blogspot.co.id/2013/09/PengertianMajasContohMacam-macamMajas.html# (diakses pada tanggal 1 April 2017)