MENGANALISIS
CERPEN YANG BERJUDUL “JANGAN KE ISTANA, ANAKKU” MENGGUNAKAN TEORI
STRUKTURALISME GENETIK
Dosen
Pengampu :
Dr.
M. Shoim Anwar M.Pd
Oleh:
Alfi
Nur Dina
NIM
(165200043)
PBSI
B 2016
UNIVERSITAS
PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017
Teori
Strukturalisme Genetik
Sejajar
dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar
penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur
intrinsik. Baik strukturalisme dinamik maupun strukturalisme genetik juga
menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra.
Perbedaannya, strukturalisme dinamik terbatas dalam melibatkan peranan penulis
dan pembaca dalam rangka komunikasi sastra, strukturalisme genetik melangkah
lebih jauh yaitu ke struktur sosial. Langkah-langkah inilah yang berhasil
membawa srukturalisme genetik sangat dominan pada periode tertentu, dianggap
sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan analisis, baik di Barat maupun di
Indonesia.
Strukturalisme
genetik ditemukan oleh Lucien Goldman, seorang filsuf dan sosiolog
Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in
the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa Perancis
terbit pertama kali tahun 1956. Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya,
Jurnal Ilmiah The Philosophical Forum
(Vol. XXIII, 1991-1992) secara khusus menerbitkan karya-karya ilmiah dalam
kaitannya dengan kepakarannya, khususnya terhadap teori strukturalisme genetik.
Strukturalisme
genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan
ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldman
sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi struktur
bermakna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur
yang lebih luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur menopang
totalitasnya. The Hidden God, di mana konsep-konsep dasarnya ditanamkan
kemudian disebut sebagai sosiologi kebudayaan. Menurut Boelhower (baca Goldman,
1981: 14-16), Goldman mulai mengkritik strukturalisme (murni) sekitar tahun
1960-an, dengan cara mengkombinasikan psikologi genetik Piaget, sebagai asimilasi
dan akomodasi, dan teori dialektik Marx, sebagai infrastruktur dan
superstruktur.
Secara
definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan
perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme
genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan
ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji validitasnya,
strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak
dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas
sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep inilah yang
berhasil membawa strukturalisme genetik pada puncak kejayaannya, sekitar tahun
1980-an hingga 1990-an.
Dalam
strukturalisme genetik subjek transindividual merupakan energi untuk membangun
pandangan dunia. Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturalisme
genetik. Homologi, kelas-kelas sosial, struktur bermakna, dan subjek
transindividual diarahkan pada totalitas pemahaman yang dianggap sebagai
kesimpulan suatu penelitian. Pandangan dunialah yang memicu subjek untuk
mengarang, identifikasi pandangan dunia yang dianggap sebagai salah satu ciri
keberhasilan suatu karya. Dengan kalimat lain, mengetahui pandangan dunia suatu
kelompok tertentu berarti mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, sistem
ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari.
Secara
definitif Goldman (1977: 25) menjelaskan pandangan dunia sebagai ekspresi psike
melalui hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan lingkungan sosial dan
fisik, dan terjadi dalam periode bersejarah yang panjang. Pandangan dunia
bukanlah ideologi sebagaimana terkandung dalam pemahaman Marxisme atau
pemahaman masyarakat pada umumnya. Konsep-konsep yang mendasari pandangan dunia
harus digali melalui dan di dalam kelompok yang bersangkutan dengan melibatkan
indikator sistem kepercayaan, sejarah intelektual, dan sejarah kebudayaan
secara keseluruhan. Penelitian terhadap primordial dan berbagai kecenderungan
masa lampau yang masih sangat dominan di Indonesia, misalnya, memerlukan
pelacakan terhadap fakta-fakta sejarah kebudayaan yang meliputi masa ratusan
bahkan ribuan tahun.
Secara
metodologis, dalam strukturalisme genetik Goldman menyarankan untuk
menganalisis karya sastra yang besar, bahkan suprakarya. Pada dasarnya hamper
semua teori memberikan indikasi karya besar seperti itu sebab semata-mata dalam
karya besarlah terkandung berbagai aspek kehidupan yang problematis.
Semata-mata dalam karya yang besar peneliti secara bebas memasuki wilayah
kehidupan, ruang-ruang kosong sebagaimana disajikan oleh pengarangnya.
Sebaliknya, dalam karya yang tidak bermutu, peneliti hanya menemukan
unsur-unsur yang terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya yang dengan
sendirinya tidak memungkinkan untuk menyajikan masalah-masalah kehidupan secara
maksimal. Menurut Goldmann hanya karya besar yang mampu untuk mengevokasi
pandangan dunia.
Secara
definitif strukturalisme genetik harus mmenjelaskan struktur dan asal-usul
struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas
sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian,
langkah-langkah yang dilakukan, di antaranya: a) meneliti unsur-unsur karya
sastra, b) hubungan unsur-unsur karya sastra, c) meneliti unsur-unsur
masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra, d) hubungan unsur-unsur
masyarakat dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya sastra secara
keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.
Analisis Cerpen “Jangan Ke Istana,
Anakku”
Menurut teori strukturalisme genetik
yang sudah dikemukakan Goldman, pada cerpen yang berjudul “Jangan Ke Istana,
Anakku” karya M. Shoim Anwar tokoh yang diceritakan di dalamnya bersifat
idealisme abstrak dalam memandang dunia. Mengapa demikian? Hal ini dapat
diketahui ketika pada tokoh “aku” menceritakan kisah masa lalunya tentang
pahitnya hidup dalam kurungan pagar istana. Sebagaimana pahitnya hidupnya pada
masa itu sehingga dia tidak ingin putrinya yang bernama Dewi untuk masuk ke
dalam istana yang laknat itu. Dia ingin membangunkan sebuah gubuk pada anaknya,
bukan sebuah istana. Sebab dari gubuk itu menurut tokoh “aku” sang anak bisa
memandang udara terbuka dengan angin semilir yang menggoyangkan dahan-dahan
dengan cinta, bukan seperti di dalam istana seperti yang pernah dijalaninya.
Perih menusuk dadanya berkali-kali
saat sang anak merengek meminta “Papa, kapan kita ke istana?” jawabku sebagai
pengenang masa lalu yang kelam yang trauma dengan kehidupan buruk di istana
yang kualami hanya bisa membujuknya berkali-kali. Masih teringat jelas dalam
ingatan tokoh “aku” penjaga istana menjadikannya pemisah antara hubunganku
dengan istriku. Dengan alasan tidak ingin rahasia yang ada diistana dibocorkan
kepada orang lain, istana mewajibkan “aku” menjadi penjaga. Istriku menangis,
karena harus dipisah. Kami sama-sama tak berdaya. Menjadi penjaga, hidup di
barak samping istana, tak boleh pulang bertahun-tahun lamanya. Dunia luar
mungkin bahagia karena hidup di dunia terbuka, tapi kami masih hidup berselimut
perih terkurung di dalam peti.
Alur yang digunakan pada cerpen ini
adalah alur campuran. Sebagaimana diceritakan tokoh “aku” yang hidup di usia
yang bisa dikatakan tidak muda lagi, yang tak mengikuti perkembangan tumbuh
putri semata wayangnya hingga memasuki usia remaja. Saat itu juga tokoh “aku”
mengenang bagaimana pedih hidupnya saat menjadi istana yang megah, namun
semuanya hanyalah kepura-puraan belaka. Keluarga istana memang berkuasa tanpa
batas, mereka berkuasa atas segalanya. Tempat-tempat penting telah dimilikinya
dengan berbagai cara, berbagai harta, nyawa, bumi dan air, segalanya diubah
menjadi milik istana. Sungguh kejam jika diingat-ingat. Tidak berhenti sampai
disitu saja, istana juga merampas istriku, menjadikan ia sebagai penari istana,
penari yang raib ditelan istana. Hilang. Bertahun-tahun lamanya tak kunjung
kembali. Dulu, aku ingat sekali bagaimana kenangan hidupku dan istriku terukir
sangat indah. Namun kini, tinggal pilu sesak di dalam dada. Jalanan tanah
berdebu, di bawah pohon depan rumahnya, di situlah cinta “aku” dan Trihayu
tumbuh mengakar. Hingga aku berniat untuk menjadikan dia sebagai pendamping
hidupku selamanya. Hingga akhirnya “aku” dan Trihayu dikaruniai seorang putrid,
namun sayang setelah dua tahun melahirkan Dewi, istriku menerobos masuk ke
istana sehingga dijadikannyalah ia sebagai penari dalam istana tersebut.
Akhirnya terfikir olehku untuk menitipkan Dewi pada keponakanku, kemudian Dewi
dibawa dan diasuh menjauh dari wilayah kekuasaan istana. Gaya hidupnya sudah
berbeda, namun dia tetap dikenalkan siapa “aku” dan Trihayu sebagai orang
tuanya. Hingga suatu hari para penjaga istana itu kembali mencekalku untuk
dibawa ke istana lagi, dengan alasan yang sama. Pemandangan yang sama yang
kutemui, suasana istana yang tak ramah, jarang ada komunikasi antar penjaga.
Komunikasi penjaga hanya sebatas bercakap ketika mereka sedang dikumpulkan di
lapangan. Namun sayang, harapanku satu-satunya akhirnya dibawa masuk ke istana.
Tubuhku terasa meleleh, mengingat istriku yang dibawa ke dalam istana hingga ia
hilang tiada kabarnya. Sekarang anak kesayanganku lepas dari pelukanku, aku tak
berdaya atas semua yang sudah kualami. Aku sedih mengapa aku, anakku, dan
istriku harus diganyang oleh istana.
Daftar
Pustaka
Anwar,
M. Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri
Pak Lurah. Lamongan: PustakaIlalang.
Kutha
Ratna, Nyoman. 2013. Teori, Metode, Dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.