Minggu, 23 Juli 2017

Analisis Puisi dengan Lapis Makna dan Analisis Cerpen Menggunakan Teori Postkolonial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

Nama               : Alfi Nur Dina
NIM                : 165200043
Prodi/Angkatan: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia / 2016 kelas B

Soal
1.      Berdasarkan teori, puisi memiliki lapis makna (the unit of meaning), yaitu subject matter, feeling, tone, total of meaning, dan theme. Jelaskan pengertian masing-masing!
2.      Analisislah puisi-puisi berikut berdasarkan unsur lapis maknanya!

MALAM ITU
malam itu aku seperti tercampakkan
bagai tebu habis disesap dahaga waktu
ruang menghampa
sendiri kian menganga
tak terkira
di manakah dengus yang mendetakkan gairah
sedang aromamu berseliweran menguntit raga
kueja detak yang merangkak
bosan berselimut kelam
adakah peri mengirim isyarat di sunyi
sedang kepergianmu menebus rindu
yang tak kutahu
ingin kutinggal gelanggang
menggelandang ke ketiak senyap
kutawar-tawar rasa
muntah kujilat kembali di lidah
ah tak sanggup aku rupanya
                                                   (M. Shoim Anwar, Januari 2015)



RAMBUTMU
gelombang mengalir di rambutmu
basah di pagi itu
memerah tanpa pewarna
kukeringkan dengan panas darahku
sebab padamu telah kueja sejarah
yang terpendam dalam larutan
di luar lurus lapang
di dalam meliuk kau sembunyikan
biarkanlah apa adanya
rumputan menjalar indah dipandang
telah kutemukan cermin hidupku
pada rambutmu
saat kujamah di pagi yang basah
                                                   (M. Shoim Anwar, Januari 2015)

MENDUNG BERDURI
balasanmu pendek sekali
seperti pelepah pisang yang diranjang celurit cemburu
patahannya menyisakan amis di dada
mengapa percik getahnya menyiprat ke lading
yang kutanam dengan cinta
cuaca sepanjang hari mengirim mendung berduri
adakah aku harus berlari
meninggalkan jejak yang terlanjur mengurai sepi
pada jemarimu telah kutulis sekuntum puisi
sementara sayap-sayap mawar yang gugur minta kuganti
biji esok hari
tapi kilatan-kilatan celuritmu menuding ke dahi
tanpa kumengerti
                                                   (M. Shoim Anwar, Januari 2015)

3.      Buatlah sebuah esai (analisis) untuk cerpen “Dalam Kejaran Sang Raksasa” (dalam buku Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah) berdasarkan teori sastra postkolonial!
Panjang esai minimal empat halaman, spasi tunggal, kertas A-4. Harus menyertakan daftar pustaka dan sumber lain yang dipakai rujukan.




Jawaban
1.      Pengertian dari subject matter, feeling, tone, total of meaning, dan theme
a)      Subject matter adalah pokok pikiran yang dikemukakan penyair lewat puisi yang diciptakannya. Kalau sense tadi disebutkan masih berupa gambaran secara umum dari apa yang akan dikemukakan oleh penyair, maka dalam subject matter gambaran umum itu telah diperinci dalam satuan-satuan pokok pikiran. Sehingga dalam menulis analisis puisi, subject matter akan melahirkan pertanyaan, “pokok pikiran apa yang akan diungkapkan oleh penyair sesuai dengan gambaran umum itu?”
b)      Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai sikap dan pandangan tertentu dalam menghadapi setiap pokok persoalan. Penyairpun demikian, dia sudah dapat dipastikan memiliki sikap tertentu pada setiap pokok persoalan yang dia ekspresikan.
c)      Tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karya puisi ciptaanya. Bagaimanakah sikap penyair terhadap pembacanya dapat dirasakan dari nada ciptaannya. Apakah penyair itu bersikap menggurui, angkuh, membodohkan, rendah hati, sugestif, persuatif, dan sebagainya terhadap para peminat puisinya jelas akan kelihatan dari warna puisi tersebut.
d)     Total of meaning atau totalitas makna adalah keseluruhan makna yang terdapat dalam puisi. Penentuan makna ini didasarkan pada pokok-pokok pikiran yang ditampilkan penyair, sikap penyair terhadap pokok persoalan yang disajikan dalam puisi, serta sikap penyair terhadap penikmat puisinya. Totalitas makna tentu akan berbeda dengan sense karena dalam sense pembaca baru memperoleh gambaran secara umum.
e)      Theme atau tema itu merupakan ide dasar dari suatu puisi yang bertindak sebagai inti dari keseluruhan makna dalam puisi tersebut. Tema hanya dapat ditentukan dengan cara menyimpulkan inti yang terdapat dalam totalitas makna puisi. Sehingga dalam analisis puisi tema ini akan melahirkan pertanyaan, “apakah ide dasar atau inti dari totalitas makna puisi itu?” atau “kesimpulan apa yang diperoleh setelah mengetahui totalitas makna puisi itu?”

2.      Puisi dengan judul “Malam itu”
a. Pada puisi pertama dengan judul “Malam itu” dapat dianalisis dengan teori lapis makna. Diantaranya lapis makna yang pertama adalah subject matter, pada puisi tersebut mengandung pikiran pokok yang merindukan kehadiran seseorang yang telah pergi, rindu akan hadirnya, sosoknya yang selalu hadir menemaninya. awalnya dikira mampu untuk menjalaninya sendiri namun nyatanya ludahnya dijilat sendiri. Seperti pada kutipan
“di manakah dengus yang mendetakkan gairah
sedang aromamu berseliweran menguntit raga
kueja detak yang merangkak
bosan berselimut kelam
adakah peri mengirim isyarat di sunyi
sedang kepergianmu menebus rindu”
Kemudian pada baris selanjutnya dengan pikiran pokok, awalnya dikira mampu untuk menjalaninya sendiri namun nyatanya ludahnya dijilat sendiri. Yang terdapat pada kutipan
“kutawar-tawar rasa
muntah kujilat kembali di lidah
ah tak sanggup aku rupanya”
b. Kemudian analisis yang kedua adalah berdasarkan feeling, feeling adalah apa yang dirasakan penyair terhadap pokok pikiran dalam puisi tersebut. Sehingga dapat diperoleh feeling dari puisi “Malam itu” adalah penyair merasa kesepian dengan keadaan yang dialami, hari-hari yang dilewati baginya menjadi hari yang tidak mudah sebab selalu terbayang-bayang dengan tentangnya. Bagaimana mungkin ia mampu melewati hari-hari penuh rindu serta bosan tanpa kehadirannya. Penyair menggambarkan dirinya sempat merasa sanggup menerima keadaan tersebut namun sayangnya ia tak mampu.
c. Yang ketiga adalah tone, tone adalah sikap penyair terhadap penikmat puisinya. Dalam puisi tersebut sikap penyair seperti pasrah kalah dalam melawan perasaan rindu yang bergejolak dalam dirinya, kesannya penyair lebih terkesan terbuka tidak menutup-nutupi yang dirasakan. Sehingga pembaca ikut terbawa perasaan ketika membacanya.
d. Selanjutnya adalah total of meaning atau biasa disebut totalitas makna yang dimana maksudnya adalah makna keseluruhan mengenai puisi tersebut. Kemudian dapat diketahui totalitas maknanya adalah bahwa puisi tersebut digambarkan penyair dengan makna bahwa, penyair tersebut merasa kehilangan setelah kepergiannya. Sehingga ia merasa sedih tak mampu melawan hari-harinya yang penuh rindu, semula ia merasa mampu melewatinya namun itu semua ternyata tidak terbukti ia mampu melawan rasa sepinya.
e. Theme atau tema adalah penggambaran ide pokok dari puisi tersebut. Pada puisi yang berjudul “Malam itu” memiliki tema tentang “Kesepian dan kerinduan dalam dada”.
Puisi dengan judul “Rambutmu”
a.       Subject matter yang terdapat pada puisi tersebut adalah kebahagiaan yang digambarkan sang penyair melalui bahasanya dalam mengungkapkan yang dirasa, dia merasa telah menemukan apa yang dia cari selama ini sehingga dia merasa bahagia atau keindahan yang ada didepannya saat ini biarkanlah indah apa adanya tanpa perlu dibuat-buat.
b.      Feeling yang terdapat dalam puisi tersebut adalah bentuk sebait kisah kebahagiaan dari sang penyair, bahagianya dapat kita lihat pada baris puisinya
“telah kutemukan cermin hidupku
pada rambutmu
saat kujamah di pagi yang basah”
dari situ penyair menggambarkan kebahagiaan hidupnya karena telah menemukan apa yang dicari selama ini yang dapat dilihat pada kalimat “telah kutemukan cermin hidupku”.
c.       Tone yang terdapat dalam puisi itu adalah penyair lebih membawa puisi tersebut mengalir apa adanya tidak terkesan angkuh ataupun menggurui, namun lebih terkesan apa adanya sehingga pembaca yang membacanya bisa merasakan bagaimana rasa kagum dan kesederhanaan yang dimiliki oleh penyair.
d.      Total of meaning dalam puisi tersebut memiliki makna bahwa penyair telah menyimpan rasa kagum pada dia namun lebih memilih menyembunyikan dan melukiskannya dalam bait-bait puisi yang di tulis hingga suatu hari ia merasa senang karena merasa telah menemukan “cermin hidup” yang dicari selama ini.
e.       Theme yang terdapat dalam puisi “Rambutmu” adalah bertema “Kebahagiaan dibalik rambutmu”.
Puisi dengan judul “ Mendung Berduri”
a.       Subject matter yang terdapat dalam puisi tersebut adalah amarah yang terjadi karena rasa cemburu digambarkan penyair dalam puisi tersebut melalui penggambaran baris balasan pesannya yang singkat sekali. Hal itu membuat si penyair merasa terluka dan bingung tak tau harus berbuat apa untuk meredakan rasa sepi dan sakit hati yang dialaminya setiap hari.
b.      Feeling yang dapat kita ketahui dari puisi tersebut adalah penyair merasa sedih, sakit hati dan kebingungan harus berbuat apa karena harus menanggung perasaan itu setiap hari.
c.       Tone yang terdapat dalam puisi itu adalah, penyair tersebut merasa sedih atas balasan pesan singkatnya. Sehingga penyair menjadikan puisi-puisi tersebut seperti pertanyaan yang banyak menimbulkan tanya bagi para pembacanya.
d.      Total of meaning yang didapat dari puisi ini adalah penyair menggambarkan puisi tersebut dengan makna amarah sekaligus rasa sedih yang dimiliki karena merasa terabaikan oleh dia. Sehingga hal itu membuat penulis merasa terlka dan bingung harus melakukan apa untuk meredakan yang dialaminya itu setiap hari.
e.       Theme yang terdapat dalam puisi yang berjudul “Mendung Berduri” adalah bertema “Sedih karena balasan pesanmu”.

3.      Teori Postkolonial
Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif Barat dalam memandang Timur. Buku-buku Said seperti Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1981)  dan Culture and Imperialism (1993) merupakan sekuel dari buku Orientalisme tersebut.
Teori poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait dengan peran kolonial. Bidang ini bukanlah menjadi monopoli kajian sastra. Poskolonial mirip dengan kajian feminisme yang meliputi bidang kajian humaniora yang lebih luas; sejajar dengan kajian posmodern atau postrukturalisme. Dalam bidang sastra, teori poskolonial merupakan salah satu dari serangkaian munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori strukturalisme mulai dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam sejarahnya teori sastra yang mula-mula yaitu teori mimesis pada zaman Plato di Yunani Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori pragmatis pada zaman Horace dari Romawi abad ke-4 yang disusul dengan teori yang berorientasi pada ekspresionisme pada abad ke-19. Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi pada strukturalisme mendominasi kajian sastra.
Pada paruh abad ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya sebatas objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan saling mengisi. Pada paruh akhir abad ke-20, selain strukturalisme yang mengkaji karya sastra hanya berdasarkan strukturnya, ada juga sejumlah kajian atau teori sastra yang melibatkan unsur kesejarahannya dan konteks sosialnya. Teori-teori seperti cultural studies, new historisisme, dan poskolonial untuk sekedar menyebut contoh merupakan kajian-kajian sastra yang menganalisis karya sastra dalam konteks kesejarahannya ataupun konteks sosialnya. Poskolonial merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik maupun diakronik. Kajian poskolonial berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai konter hegemoni.
Seperti yang diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam dunia Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient). Sejumlah karya seni itu telah melegitimasi praktik kolonialisme bangsa Barat atas kebiadaban Timur. Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat untuk memberadabkan bangsa Timur. Kajian Said ini memang berangkat dari teori hegemoni Gramscian dan teori diskursus Foucaultian. Kata “post” yang dilekatkan dengan kata “colonial” sebetulnya kurang tepat kalau diindonesiakan menjadi “pasca”. Kasus ini mirip dengan pengindonesiaan kata “discourse” dalam istilah Foucault yang tidak sama persis maknanya dengan kata “wacana”. Ada kekhususan. Kata pascakolonial yang seringkali dijadikan terjemahan dari postcolonial merupakan istilah yang mengacu pada permasalah “waktu setelah” kolonial. Padahal poskolonial tidak hanya mengacu pada kajian sastra sesudah masa era penjajahan, atau era kemerdekaan tetapi lebih luas mengacu pada segala yang terkait dengan kolonialisme yang pada abad ke-21 hanya menyisakan Amerika sebagai bangsa penjajah yang kesiangan. Konteks poskolonialisme juga mencakup kasus globalisasi dan perdagangan bebas yang seringkali dianggap sebagai bentuk neokolonialisme. Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga poskolonial adalah kajian yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berupa pasca atau permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme.
Analisis Cerpen “Dalam Kejaran Sang Raksasa”
Dalam cerpen yang berjudul “Dalam Kejaran Sang Raksasa” cerita di dalamnya diambil dari cerita asli sebagaimana diceritakan oleh tokoh “Aku” yang digambarkan dengan nama “Win” dalam cerita tersebut. Cerita tersebut menceritakan tentang betapa jahatnya sosok yang disebut-sebut sebagai raksasa yang melahap segalanya di sekitarnya, yang mengubah daratan perkampungan warga menjadi danau lumpur luas dengan asap awan panas yang mengeluarkan bau yang merusak kesehatan. Raksasa yang dimaksudkan dalam cerita ini bukanlah raksasa seperti yang biasa dikisahkan pada cerita Timun Mas, apabila raksasa itu dilemparkan dengan empat macam barang seperti biji mentimun, lidi dari bambu, kemudian terasi namun semua usaha itu tidak membuahkan hasil dan yang ada malah raksasa itu semakin melebar meluas melahap segala yang ada. Desa kami terjajah, bukan terjajah oleh kompeni ataupun Belanda melainkan terjajah oleh semburan gas dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
“… Seluruh kampung dan isinya telah menjadi fosil. Sedangkan para penghuninya terpuruk dalam pengungsian dengan nasib tak menentu. Tangis dan air mata telah menggumpal beku. Teriakan-teriakan parau telah mengeringkan tenggorokan. Aku menerawang jauh. Mata terasa perih”
Dalam kutipan diatas sangatlah jelas bagaiman penderitaan yang dialami atas kejadian tersebut. Mau melawan juga sudah pasti hancur lebih dulu. Melawan sama saja dengan setor nyawa pada raksasa itu. Sudah banyak usaha yang dilakukan untuk melawan keadaan tersebut namun sayangnya banyak usaha telah dicoba dilakukan namun hasilnya sama saja. Sudah dibangunkan tanggul yang lebih tinggi namun raksasa itu tetap saja lebih kuat untuk menghancurkannya. Hingga daerah sekitar itupun mati, rel kereta bahkan hampir hilang karena terkubur lumpur sehingga ketika kereta melintas jalannya pelan-pelan agar tidak tergelincir. Rumah-rumah penduduk pun hilang seperti tertelan bumi, dulunya masih terlihat bentuk atapnya namun sekarang yang terlihat hanyalah lautan lumpur luas dengan bau yang menyengat.
Beberapa bentuk usaha kami untuk protes ke pemerintah hanya ditanggapi sekedar pemanis janji tanpa ada usaha untuk menepatinya. Banyak cara yang telah warga lakukan, bahkan warga setempat memblokade jalan raya dalam melakukan aksinya. Hal itu dilakukan warga demi menuntut ganti rugi pada perusahaan pengeboran dan pemerintah atas kerusakan dan kematian yang terjadi yang jumlahnya semakin hari semakin banyak. Seperti pada kutipan berikut,
“Kematian mertua membuat demo warga korban lumpur untuk minta ganti rugi pada perusahaan pengeboran dan pemeritah makin menguat. Di samping memblokade jalan raya, ada pula yang ngluruk ke Jakarta. Kemacetan panjang sering terjadi karena warga menutup akses jalan raya. Bahkan warga juga mencegat truk-truk sirtu dan menumpahkan muatannya di tengah jalan. Ketegangan dengan polisi tak terhindarkan, bahkan kami pernah dikatakan sebagai penjahat karena memblokade jalan…”
Jauh sebelum kejadian lumpur itu terjadi, aku sempat mengenal Marsinah, Timas dan Lusi. Mereka bertiga adalah teman perempuanku, mereka adalah teman kerjaku. Saat itu aku lebih mengenal dan dekat dengan Marsinah, sudah seperti saudara sendiri. Bahkan kita sering melakukan pinjam meminjam uang yang sudah bukan lagi menjadi hal yang baru. Marsinah sempat bercerita kepadaku mengenai Timas yang menyukaiku. Usiaku waktu itu sudah memasuki bukan usia muda lagi, namun aku sadar tanggung jawabku masih besar. Akhirnya setelah kupikir-pikir lagi ucapan Marsinah, dengan mantap akupun memberanikan diri untuk melamar Timas. Sungguh waktu yang sangat tidak kuharapkan waktu itu, karena saat aku melamar Timas, aku melihat mata Lusi sempat berkaca-kaca. Kemudian akupun menikah dengan Timas, hingga akhirnya aku mendambakan seorang anak darinya namun Timas tak kunjung memiliki tanda-tanda kehamilan. Ia pun juga khawatir mandul. Hingga akhirnya yang diharapkan pun terjadi, Timas mengandung anakku dan kami berharap apabila dia laki-laki maka kuberi nama dia Saifullah, jika perempuan kuberi nama Aisyah. Dan akhirnya telah lahir putraku kemudian kuberi nama dia Saifullah. Sangat manis jika diingat tentang perjalanan hidupku pada masa itu sebelum akhirnya semuanya berubah.
Saat aku bekerja dengan istriku di pabrik jam, begitu juga dengan Marsinah dan Lusi. Saat itu keadaan pabrik sedang tidak stabil sehingga Marsinah memberitahu kepadaku bahwa harga mesin saat itu lebih berarti daripada harga manusianya. Marsinah ingin memperjuangkan nasib buruh menjadi layak dan bisa digunakan nabung untuk hari depan. Saat Marsinah memperjuangkan nasibnya belum sampai nasibnya tercapai secara merata, sayangnya ia harus dijegal di Tugu Kuning saat pulang bersama Timas. Lagi-lagi sang raksasa menjadi penyebabnya. Timas berusaha menolong namun sang raksasa dengan cepat membetot tubuh Marsinah untuk dimangsanya. Lagi-lagi kami dibuat kalah terpukul atas keadaan. Kami merasa kehilangan. Perjuangan Marsinah tak terlupakan sepanjang hidup kami.
Tragedi yang menimpa Marsinah membuat ketakutan para buruh di pabrik jam, mereka khawatir raksasa itu akan mencari mangsa lagi. Diam-diam Lusi pindah ke pabrik lain, namun sialnya nasib buruk tetap mengejarnya. Di tempat kerjanya yang baru Lusi mengalami musibah, tiga jari kanannya patah dan kabar pernikahannya tidak jelas karena calon suaminya melarikan diri dengan wanita lain. Lusi kemudian hilang kabarnya hingga aku beranggapan bahwa ia sudah ditelan raksasa juga.
Kejadian demi kejadian terus terjadi, aku ingat saat setellah kejadian itu putraku lahir yang kuberi nama Saifullah. Dan sedihnya setelah itu pabrik tempat penghasilanku satu-satunya telah ditutup karena raksasa itu telah muncul lagi. Raksasa itu merenggut semua harta benda yang telah aku dan Timas kumpulkan sedikit demi sedikit kini telah ludes terendam lumpur.
“…Pabrik jam tempat kami bekerja telah tenggelam. Habis sudah sumber kehidupan kami. Harta benda yang kami kumpulkan seikit demi sedikit bersama Timas telah hancur di dasar lumpur…”
Dengan keadaan seperti itu akhirnya kami sekeluarga (aku, Timas, Saiful, dan ibu mertua) pindah ke barak pengungsian. Namun saat ditengah perjalanan terjadi ledakan hebat pada pipa gas di dekat kami. Pipa itu meledak menyemburkan lumpur panas dari dasar bumi, lagi-lagi raksasa itu memakan korban. Ibu mertuaku menjadi korbannya, sedangkan aku dan anakku masih mampu bangkit. Sedangkan Timas mengalami luka parah. Semakin hari semakin banyak korban berjatuhan. Area pemakaman pada desa tersebut sudah terendam, ibu mertua kami makamkan di tempat pengungsian.
Dengan adanya banyak korban tersebut menguatkan demo warga kepada pemerintah, banyak anggota pemerintah seperti parlemen, para pejabat mendatangi kawasan tersebut. Banyak warga yang menuntut ganti rugi atas kehilangan nyawa dan harta benda yang dimilikinya selama ini. Raksasa itu dengan tiba-tiba telah menghancurkan masa depan anak bangsa, bukan hanya itu saja raksasa itu juga dengan cepat membetot harta benda yang dimiliki warga setempat, jika sudah terjadi yang demikian lalu siapa yang bisa dimintai tanggung jawab atas kejadian tersebut? Orang pejabat diatas saling menyalahkan namun enggan mencarikan solusi apalgi memberikan kontribusi.
“…Ucapan belasungkawa mengalir deras seperti semburan lumpur. Para pejabar, anggota darma wanita, parlemen, lembaga swadaya masyarakat, penyanyi, bintang film, dan orang-orang jauh mendatangi kami. Mereka ada yang membantu kami, ada pula yang bertamasya melihat penderitaan kami dengan menaiki tanggul dan mengambil gambar dengan kameranya. Ada juga yang berpose mesra saat difoto dengan latar belakang lautan lumpur lapindo.”
Atas kejadian kematian ibunya Timas hanya diam membeku, hal inilah yang membuat Win semakin terpuruk dengan keadaan yang dirasakannya. Pandangan Timas kosong, tatapannya nerawang dan wajahnya membeku. Kini Win akhirnya merelakan Timas untuk dirawat di rumah sakit jiwa. Timas dirawat di rumah sakit jiwa Porong. Rumah sakit itu menjadi tempat penampungan korban dampak semburan lumpur sehingga antara banyaknya pasien dengan petugas rumah sakit tidak sebanding banyaknya. Dalam kondisi yang demikian banyak pasien yang kabur, begitu juga dengan Timas dia melarikan diri dari rumah sakit tersebut. Sudah kucari kemana-mana namun takpernah ketemu. Hingga akhirnya akupun beranggapan lagi bahwa Timas ikut ditelan oleh raksasa.
Semburan-semburan lumpur pada desa-desa menjadi semakin parah, banyak permukaan tanah yang ambles. Wilayah bencana sudah meluas kemana-mana. Banyak tanggul yang jebol. Banyak bermunculan gas-gas baru dan mengeluarkan gas yang mudah terbakar. Banyak korban yang terus bergelimpangan. Banyak yang menderita gangguan pernafasan, karena raksasa itu sudah berubah menjadi gas-gas yang mudah dihirup manusia kemudian gas tersebut merusak kerja organ tubuh manusia terutama pada pernafasan. Kondisi warga sudah mulai berubah, mereka sudah tak kompak lagi. Tujuan dan keinginan mereka sudah berbeda-beda. Anakku, Saiful terus bertanya dimana keberadaan ibunya Timas. Tiapkali ditanya aku menjawabnya dengan bujukan bahwa ibunya sebentar lagi pulang. Namun dia tetap kokoh pendirian menunggu ibunya kembali diatas tanggul itu. Saat itu cuaca sedang hujan dengan angin kencang, aku mengajak Saiful pulang dengan susah payah kubujuk terus sampai akhirnya dia mau. Namun sayangnya Saiful berbalik badan dan mengejar dimana ibunya tenggelam, aku sudah berusaha mengejarnya namun hasilnya sia-sia. Hujan telah mengantarkan Saiful pada tempat ibunya tenggelam, dan Win hanya bisa mencoba bangkit kembali di atas tanggul itu bersama tubuh yang mengigil kedinginan.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah. Lamongan: PustakaIlalang.

(dikutip dari Nurfirdaus, Evita. 2016Lapis Bentuk (Struktur), Lapis Makna, dan Ragam dalam Puisi. https://indahnyaberpuisiitu.wordpress.com/2016/02/08/lapis-bentuk-struktur-lapis-makna-dan-ragam-dalam-puisi/ pada tanggal 14 Juli 2017)

 

Nurhadi. Poskolonial Sebuah Pembahasan. Yogyakarta.
staffnew.uny.ac.id/.../POSKOLONIAL+SEBUAH+PEMBAHASAN.pdf (diunduh pada tanggal
21 Mei 2017)

Senin, 12 Juni 2017

Teori Strukturalisme Genetik


MENGANALISIS CERPEN YANG BERJUDUL “JANGAN KE ISTANA, ANAKKU” MENGGUNAKAN TEORI STRUKTURALISME GENETIK
Dosen Pengampu :
Dr. M. Shoim Anwar M.Pd
                                                                                                  




Oleh:
Alfi Nur Dina
NIM (165200043)
PBSI B 2016






UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017



Teori Strukturalisme Genetik

Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Baik strukturalisme dinamik maupun strukturalisme genetik juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra. Perbedaannya, strukturalisme dinamik terbatas dalam melibatkan peranan penulis dan pembaca dalam rangka komunikasi sastra, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh yaitu ke struktur sosial. Langkah-langkah inilah yang berhasil membawa srukturalisme genetik sangat dominan pada periode tertentu, dianggap sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan analisis, baik di Barat maupun di Indonesia.
Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldman, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa Perancis terbit pertama kali tahun 1956. Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya, Jurnal Ilmiah The Philosophical Forum (Vol. XXIII, 1991-1992) secara khusus menerbitkan karya-karya ilmiah dalam kaitannya dengan kepakarannya, khususnya terhadap teori strukturalisme genetik.
Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldman sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi struktur bermakna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur menopang totalitasnya. The Hidden God, di mana konsep-konsep dasarnya ditanamkan kemudian disebut sebagai sosiologi kebudayaan. Menurut Boelhower (baca Goldman, 1981: 14-16), Goldman mulai mengkritik strukturalisme (murni) sekitar tahun 1960-an, dengan cara mengkombinasikan psikologi genetik Piaget, sebagai asimilasi dan akomodasi, dan teori dialektik Marx, sebagai infrastruktur dan superstruktur.
Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik pada puncak kejayaannya, sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an.
Dalam strukturalisme genetik subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia. Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturalisme genetik. Homologi, kelas-kelas sosial, struktur bermakna, dan subjek transindividual diarahkan pada totalitas pemahaman yang dianggap sebagai kesimpulan suatu penelitian. Pandangan dunialah yang memicu subjek untuk mengarang, identifikasi pandangan dunia yang dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. Dengan kalimat lain, mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari.
Secara definitif Goldman (1977: 25) menjelaskan pandangan dunia sebagai ekspresi psike melalui hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan lingkungan sosial dan fisik, dan terjadi dalam periode bersejarah yang panjang. Pandangan dunia bukanlah ideologi sebagaimana terkandung dalam pemahaman Marxisme atau pemahaman masyarakat pada umumnya. Konsep-konsep yang mendasari pandangan dunia harus digali melalui dan di dalam kelompok yang bersangkutan dengan melibatkan indikator sistem kepercayaan, sejarah intelektual, dan sejarah kebudayaan secara keseluruhan. Penelitian terhadap primordial dan berbagai kecenderungan masa lampau yang masih sangat dominan di Indonesia, misalnya, memerlukan pelacakan terhadap fakta-fakta sejarah kebudayaan yang meliputi masa ratusan bahkan ribuan tahun.
Secara metodologis, dalam strukturalisme genetik Goldman menyarankan untuk menganalisis karya sastra yang besar, bahkan suprakarya. Pada dasarnya hamper semua teori memberikan indikasi karya besar seperti itu sebab semata-mata dalam karya besarlah terkandung berbagai aspek kehidupan yang problematis. Semata-mata dalam karya yang besar peneliti secara bebas memasuki wilayah kehidupan, ruang-ruang kosong sebagaimana disajikan oleh pengarangnya. Sebaliknya, dalam karya yang tidak bermutu, peneliti hanya menemukan unsur-unsur yang terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya yang dengan sendirinya tidak memungkinkan untuk menyajikan masalah-masalah kehidupan secara maksimal. Menurut Goldmann hanya karya besar yang mampu untuk mengevokasi pandangan dunia.
Secara definitif strukturalisme genetik harus mmenjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian, langkah-langkah yang dilakukan, di antaranya: a) meneliti unsur-unsur karya sastra, b) hubungan unsur-unsur karya sastra, c) meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra, d) hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

Analisis Cerpen “Jangan Ke Istana, Anakku”
            Menurut teori strukturalisme genetik yang sudah dikemukakan Goldman, pada cerpen yang berjudul “Jangan Ke Istana, Anakku” karya M. Shoim Anwar tokoh yang diceritakan di dalamnya bersifat idealisme abstrak dalam memandang dunia. Mengapa demikian? Hal ini dapat diketahui ketika pada tokoh “aku” menceritakan kisah masa lalunya tentang pahitnya hidup dalam kurungan pagar istana. Sebagaimana pahitnya hidupnya pada masa itu sehingga dia tidak ingin putrinya yang bernama Dewi untuk masuk ke dalam istana yang laknat itu. Dia ingin membangunkan sebuah gubuk pada anaknya, bukan sebuah istana. Sebab dari gubuk itu menurut tokoh “aku” sang anak bisa memandang udara terbuka dengan angin semilir yang menggoyangkan dahan-dahan dengan cinta, bukan seperti di dalam istana seperti yang pernah dijalaninya.
            Perih menusuk dadanya berkali-kali saat sang anak merengek meminta “Papa, kapan kita ke istana?” jawabku sebagai pengenang masa lalu yang kelam yang trauma dengan kehidupan buruk di istana yang kualami hanya bisa membujuknya berkali-kali. Masih teringat jelas dalam ingatan tokoh “aku” penjaga istana menjadikannya pemisah antara hubunganku dengan istriku. Dengan alasan tidak ingin rahasia yang ada diistana dibocorkan kepada orang lain, istana mewajibkan “aku” menjadi penjaga. Istriku menangis, karena harus dipisah. Kami sama-sama tak berdaya. Menjadi penjaga, hidup di barak samping istana, tak boleh pulang bertahun-tahun lamanya. Dunia luar mungkin bahagia karena hidup di dunia terbuka, tapi kami masih hidup berselimut perih terkurung di dalam peti.
            Alur yang digunakan pada cerpen ini adalah alur campuran. Sebagaimana diceritakan tokoh “aku” yang hidup di usia yang bisa dikatakan tidak muda lagi, yang tak mengikuti perkembangan tumbuh putri semata wayangnya hingga memasuki usia remaja. Saat itu juga tokoh “aku” mengenang bagaimana pedih hidupnya saat menjadi istana yang megah, namun semuanya hanyalah kepura-puraan belaka. Keluarga istana memang berkuasa tanpa batas, mereka berkuasa atas segalanya. Tempat-tempat penting telah dimilikinya dengan berbagai cara, berbagai harta, nyawa, bumi dan air, segalanya diubah menjadi milik istana. Sungguh kejam jika diingat-ingat. Tidak berhenti sampai disitu saja, istana juga merampas istriku, menjadikan ia sebagai penari istana, penari yang raib ditelan istana. Hilang. Bertahun-tahun lamanya tak kunjung kembali. Dulu, aku ingat sekali bagaimana kenangan hidupku dan istriku terukir sangat indah. Namun kini, tinggal pilu sesak di dalam dada. Jalanan tanah berdebu, di bawah pohon depan rumahnya, di situlah cinta “aku” dan Trihayu tumbuh mengakar. Hingga aku berniat untuk menjadikan dia sebagai pendamping hidupku selamanya. Hingga akhirnya “aku” dan Trihayu dikaruniai seorang putrid, namun sayang setelah dua tahun melahirkan Dewi, istriku menerobos masuk ke istana sehingga dijadikannyalah ia sebagai penari dalam istana tersebut. Akhirnya terfikir olehku untuk menitipkan Dewi pada keponakanku, kemudian Dewi dibawa dan diasuh menjauh dari wilayah kekuasaan istana. Gaya hidupnya sudah berbeda, namun dia tetap dikenalkan siapa “aku” dan Trihayu sebagai orang tuanya. Hingga suatu hari para penjaga istana itu kembali mencekalku untuk dibawa ke istana lagi, dengan alasan yang sama. Pemandangan yang sama yang kutemui, suasana istana yang tak ramah, jarang ada komunikasi antar penjaga. Komunikasi penjaga hanya sebatas bercakap ketika mereka sedang dikumpulkan di lapangan. Namun sayang, harapanku satu-satunya akhirnya dibawa masuk ke istana. Tubuhku terasa meleleh, mengingat istriku yang dibawa ke dalam istana hingga ia hilang tiada kabarnya. Sekarang anak kesayanganku lepas dari pelukanku, aku tak berdaya atas semua yang sudah kualami. Aku sedih mengapa aku, anakku, dan istriku harus diganyang oleh istana.



Daftar Pustaka
Anwar, M. Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah. Lamongan: PustakaIlalang.
Kutha Ratna, Nyoman. 2013. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teori Postkolonial


MENGANALISIS TEORI POSTKOLONIAL PADA CERPEN “TAHI LALAT DI DADA ISTRI PAK LURAH”
Dosen Pengampu :
Dr. M. Shoim Anwar M.Pd





Oleh:
Alfi Nur Dina
NIM (165200043)
PBSI B 2016






UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017



Teori Postkolonial

Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif Barat dalam memandang Timur. Buku-buku Said seperti Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1981)  dan Culture and Imperialism (1993) merupakan sekuel dari buku Orientalisme tersebut. Buku semacam The Empire Writes Back (1989) suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin merupakan buku lain yang sering dijadikan rujukan dalam pembahasan teori poskolonial.
Teori poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait dengan peran kolonial. Bidang ini bukanlah menjadi monopoli kajian sastra. Poskolonial mirip dengan kajian feminisme yang meliputi bidang kajian humaniora yang lebih luas; sejajar dengan kajian posmodern atau postrukturalisme. Dalam bidang sastra, teori poskolonial merupakan salah satu dari serangkaian munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori strukturalisme mulai dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam sejarahnya teori sastra yang mula-mula yaitu teori mimesis pada zaman Plato di Yunani Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori pragmatis pada zaman Horace dari Romawi abad ke-4 yang disusul dengan teori yang berorientasi pada ekspresionisme pada abad ke-19. Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi pada strukturalisme mendominasi kajian sastra.
Pada paruh abad ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya sebatas objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan saling mengisi. Pada paruh akhir abad ke-20, selain strukturalisme yang mengkaji karya sastra hanya berdasarkan strukturnya, ada juga sejumlah kajian atau teori sastra yang melibatkan unsur kesejarahannya dan konteks sosialnya. Teori-teori seperti cultural studies, new historisisme, dan poskolonial untuk sekedar menyebut contoh merupakan kajian-kajian sastra yang menganalisis karya sastra dalam konteks kesejarahannya ataupun konteks sosialnya. Poskolonial merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik maupun diakronik. Kajian poskolonial berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai konter hegemoni.

 A.    Kolonialisme/Orientalisme
Seperti yang diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam dunia Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient). Sejumlah karya seni itu telah melegitimasi praktik kolonialisme bangsa Barat atas kebiadaban Timur. Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat untuk memberadabkan bangsa Timur. Kajian Said ini memang berangkat dari teori hegemoni Gramscian dan teori diskursus Foucaultian. Kata “post” yang dilekatkan dengan kata “colonial” sebetulnya kurang tepat kalau diindonesiakan menjadi “pasca”. Kasus ini mirip dengan pengindonesiaan kata “discourse” dalam istilah Foucault yang tidak sama persis maknanya dengan kata “wacana”. Ada kekhususan. Kata pascakolonial yang seringkali dijadikan terjemahan dari postcolonial merupakan istilah yang mengacu pada permasalah “waktu setelah” kolonial. Padahal poskolonial tidak hanya mengacu pada kajian sastra sesudah masa era penjajahan, atau era kemerdekaan tetapi lebih luas mengacu pada segala yang terkait dengan kolonialisme yang pada abad ke-21 hanya menyisakan Amerika sebagai bangsa penjajah yang kesiangan. Konteks poskolonialisme juga mencakup kasus globalisasi dan perdagangan bebas yang seringkali dianggap sebagai bentuk neokolonialisme. Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga poskolonial adalah kajian yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berupa pasca atau permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme.
Jangkauan luar biasa imperialisme Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan salah satu fakta yang paling menakjubkan dalam sejarah politik. Melalui penafsirannya yang yang brilian atas kanon-kanon Barat seperti Heart of Darkness (karya Conrad), Mansfield Park (karya Austen), dan Aida (komposisi musik karya Verdi), Said menunjukkan bagaimana kebudayaan dan politik bekerja sama. Sebuah konsep dasar yang dipaparkan pemikir Komunis Italia, Antonio Gramsci tentang hegemoni yang menyatakan bahwa kekuasaan terbangun atas dominasi (senjata) dan hegemoni (kebudayaan). Menurut Said, kebudayaan dan politik pada kasus kolonialisme telah bekerja sama, secara sengaja ataupun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan bukan hanya meriam dan serdadu tetapi suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan dan imajinasi penguasa dan yang dikuasai. Hasilnya adalah suatu visi yang mengaskan bahwa bangsa Eropa bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk berkuasa. Argumen utama dosen kritik sastra Universitas Columbia AS ini adalah bahwa kekuasaan imperial Barat selalu menemui perlawanan terhadap imperium. Lelaki keturunan Palestina ini menelaah kesalingketergantungan wilayah-wilayah kultural tempat kaum penjajah dan terjajah hidup bersama dan saling berperang, dan melacak kisah-kisah “perlawanan” dalam diri para penulis poskolonial seperti Fanon, C.L.R. James, Yeats, Chinua Achebe, dan Salman Rusdhie. Dalam dunia poskolonial sekarang ini, Said mengajukan sanggahan terhadap argumen-argumen yang mengatakan bahwa kebudayaan dan identitas nasional adalah entitas-entitas yang tunggal dan murni seperti yang dipaparkannya dalam buku Culture and Imperialism (yang diindonesiakan oleh Penerbit Mizan menjadi Kebudayaan dan Kekuasaan). Dengan melucuti pengertian “kita” dan “mereka” dari imperium, Said menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi imperialis yang busuk terus mempengaruhi politik dan kebudayaan Barat, sejak peliputan media atas Perang Teluk hingga pengajaran sejarah dan kesusastraan di sekolah-sekolah. 
Apa yang dilakukan Said dalam sejumlah bukunya dalam menelanjangi praktik-praktik poskolonial tersebut selain berangkat dari teori hegemoni sebetulnya juga berawal dari konsep diskursus-nya Foucault. Dalam pengertian intelektual Prancis yang tampil plontos ini, diskursus (yang sering diindonesiakan menjadi wacana) adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Dengan cakupan pengertian seperti ini, Foucault menulis salah satu judul bukunya dengan Power/Knowledge, kekuasaan dan pengetahuan seperti dua sisi mata uang. Kekuasaan (dan sekaligus pengetahuan)  bukanlah sebuah entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, melainkan sebuah jaringan yang tersebar di mana-mana dan selalu bergerak atau bergeser. Orientalisme yang diungkap oleh Edward Said adalah satu bentuk “knowledge” dalam rangka mengukuh kekuasaan (power) kolonialisme. Sejak itu, di Barat orang tidak mau lagi diberi predikat orientalis bagi intelektual yang melakukan studi kawasan Asia-Afrika. Kata “orientalis” telah menjadi kata peyoratif.

Analisis cerpen “Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah”
Cerpen berjudul “Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah” karya M. Shoim Anwar bercerita tentang  realita kehidupan yang dialami di sekitar kita bukan sebuah mitos tapi benar-benar terjadi dan itu nyata. Cerpen Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah karya M. Shoim Anwar telah mengingatkan kita bahwasanya uang dan jabatan di atas segalanya. Cerita lurah dalam cerpen ini merupakan realita sebenarnya terjadi saat ini. Jabatan dan kekuasaan sering dijadikan alat bagi para penguasa untuk memeras masyarakat kecil, sehingga ada kesenjangan antara penguasa dan masyarakat kecil. Hak yang seharusnya di dapatkan oleh masyarakat kecil seringkali disalahgunakan oleh penguasa.
Pak lurah merupakan pemimpin pilihan warga desa. Kehidupan rumah tangga beliau dengan istrinya mengalami perceraian kemudian pak lurah menikah lagi. Desas desusnya, ada tahi lalat di dada sebelah kiri istri pak lurah yang kedua ini. Istri pak lurah yang kedua ini adalah seorang sinden dulunya. Sehingga tidak heran jika istrinya ini memiliki bentuk tubuh yang membuat mata lelaki tergoda ketika melihatnya. Pak lurah adalah pemimpin yang sering menggunakan cara-cara kotor dan menjijikkan. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladangnya dan berganti dengan perumahan mewah. Teori poskolonial sangat relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji sangat luas dan beragam, diantaranya: politik, ideologi, agama, pendidikan, bahasa dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik dilapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.
Pada cerpen berjudul “Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah” karya M. Shoim Anwar, hegemoni kuasa merupakan suatu bentuk kekaisaran yang mengendalikan rakyat-rakyat dengan kekuasaan yang dapat memaksakan tujuannya. Dalam hal ini pak lurah memaksakan tujuannya dengan cara mengancam agar rakyat menjual tanahnya demi mendapatkan keuntungan dari persentase diam-diam antara dia dengan pihak pembeli. Seperti terdapat pada kutipan:
“Kalau tidak mau menjual akan dipagari oleh pihak pengembang perumahan.”
“Penduduk serba khawatir. Setelah berulang kali dipanggil pak lurah ke kantor, mereka terpaksa melepaskan tanahnya karena batas-batas disekitarnya sudah dimiliki pihak pengembang perumahan.”
“Ada tersiar berita lagi. Tanah kas desa yang sering dipakai sepak bola para pemuda kabarnya sudah ditancapi patok-patok oleh pengembang perumahan.”

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa seorang Pak Lurah yang benar-benar menginginkan tanah warga untuk dijadikan sebagai lahan perumahan dan otomatis pak lurah mendapatkan keuntungan dari warga yang mau menjual tanahnya tersebut. Dan penduduk desa merasa diancam agar mau menjual tanahnya, jika tidak mau menjual, tanah akan dipagari oleh pihak perumahan. Cara-cara tersebut adalah cara kotor dan menjijikkan demi mendapatkan keuntungan tersendiri. Banyak penduduk yang bertambah miskin hidupnya. Sawah dan ladang telah terjual dan tinggal di sepetak yang kini mereka tempati. Semestinya kehidupan penduduk diperbaiki agar makmur, diciptakan lapangan kerja baru. Tidak malah mengancam dan membuat penduduk menjadi miskin. Cara itu termasuk penjajahan = penguasaan = dominasi = pertentangan antara yang kuat dan lemah.

Daftar Pustaka

Anwar, M. Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah. Lamongan: PustakaIlalang.
Nurhadi. Poskolonial Sebuah Pembahasan. Yogyakarta. staffnew.uny.ac.id/.../POSKOLONIAL+SEBUAH+PEMBAHASAN.pdf (diunduh pada tanggal 21 Mei 2017)