FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PGRI ADI BUANA SURABAYA
UJIAN
AKHIR SEMESTER (UAS)
Nama : Alfi Nur Dina
NIM : 165200043
Prodi/Angkatan:
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia / 2016 kelas B
Alamat blog : http://alfinurdina.blogspot.co.id/
Soal
1.
Berdasarkan teori, puisi memiliki lapis
makna (the unit of meaning), yaitu subject
matter, feeling, tone, total of meaning, dan theme. Jelaskan pengertian masing-masing!
2.
Analisislah puisi-puisi berikut
berdasarkan unsur lapis maknanya!
MALAM
ITU
malam
itu aku seperti tercampakkan
bagai
tebu habis disesap dahaga waktu
ruang
menghampa
sendiri
kian menganga
tak
terkira
di
manakah dengus yang mendetakkan gairah
sedang
aromamu berseliweran menguntit raga
kueja
detak yang merangkak
bosan
berselimut kelam
adakah
peri mengirim isyarat di sunyi
sedang
kepergianmu menebus rindu
yang
tak kutahu
ingin
kutinggal gelanggang
menggelandang
ke ketiak senyap
kutawar-tawar
rasa
muntah
kujilat kembali di lidah
ah
tak sanggup aku rupanya
(M.
Shoim Anwar, Januari 2015)
RAMBUTMU
gelombang
mengalir di rambutmu
basah
di pagi itu
memerah
tanpa pewarna
kukeringkan
dengan panas darahku
sebab
padamu telah kueja sejarah
yang
terpendam dalam larutan
di
luar lurus lapang
di
dalam meliuk kau sembunyikan
biarkanlah
apa adanya
rumputan
menjalar indah dipandang
telah
kutemukan cermin hidupku
pada
rambutmu
saat
kujamah di pagi yang basah
(M.
Shoim Anwar, Januari 2015)
MENDUNG
BERDURI
balasanmu
pendek sekali
seperti
pelepah pisang yang diranjang celurit cemburu
patahannya
menyisakan amis di dada
mengapa
percik getahnya menyiprat ke lading
yang
kutanam dengan cinta
cuaca
sepanjang hari mengirim mendung berduri
adakah
aku harus berlari
meninggalkan
jejak yang terlanjur mengurai sepi
pada
jemarimu telah kutulis sekuntum puisi
sementara
sayap-sayap mawar yang gugur minta kuganti
biji
esok hari
tapi
kilatan-kilatan celuritmu menuding ke dahi
tanpa
kumengerti
(M.
Shoim Anwar, Januari 2015)
3.
Buatlah sebuah esai (analisis) untuk
cerpen “Dalam Kejaran Sang Raksasa” (dalam buku Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah) berdasarkan teori sastra
postkolonial!
Panjang
esai minimal empat halaman, spasi tunggal, kertas A-4. Harus menyertakan daftar
pustaka dan sumber lain yang dipakai rujukan.
Jawaban
1.
Pengertian dari subject matter, feeling,
tone, total of meaning, dan theme
a) Subject
matter adalah pokok pikiran yang dikemukakan penyair lewat puisi
yang diciptakannya. Kalau sense tadi disebutkan masih berupa gambaran secara
umum dari apa yang akan dikemukakan oleh penyair, maka dalam subject matter
gambaran umum itu telah diperinci dalam satuan-satuan pokok pikiran. Sehingga
dalam menulis analisis puisi, subject matter akan melahirkan pertanyaan, “pokok
pikiran apa yang akan diungkapkan oleh penyair sesuai dengan gambaran umum
itu?”
b) Feeling
adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang
ditampilkan. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai
sikap dan pandangan tertentu dalam menghadapi setiap pokok persoalan.
Penyairpun demikian, dia sudah dapat dipastikan memiliki sikap tertentu pada
setiap pokok persoalan yang dia ekspresikan.
c) Tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat
karya puisi ciptaanya. Bagaimanakah sikap penyair terhadap pembacanya dapat
dirasakan dari nada ciptaannya. Apakah penyair itu bersikap menggurui, angkuh,
membodohkan, rendah hati, sugestif, persuatif, dan sebagainya terhadap para
peminat puisinya jelas akan kelihatan dari warna puisi tersebut.
d)
Total of meaning atau totalitas
makna adalah keseluruhan makna yang terdapat dalam puisi. Penentuan makna ini
didasarkan pada pokok-pokok pikiran yang ditampilkan penyair, sikap penyair
terhadap pokok persoalan yang disajikan dalam puisi, serta sikap penyair
terhadap penikmat puisinya. Totalitas makna tentu akan berbeda dengan sense
karena dalam sense pembaca baru memperoleh gambaran secara umum.
e)
Theme atau tema itu
merupakan ide dasar dari suatu puisi yang bertindak sebagai inti dari
keseluruhan makna dalam puisi tersebut. Tema hanya dapat ditentukan dengan cara
menyimpulkan inti yang terdapat dalam totalitas makna puisi. Sehingga dalam
analisis puisi tema ini akan melahirkan pertanyaan, “apakah ide dasar atau inti
dari totalitas makna puisi itu?” atau “kesimpulan apa yang diperoleh setelah
mengetahui totalitas makna puisi itu?”
2.
Puisi dengan judul “Malam itu”
a.
Pada puisi pertama dengan judul “Malam itu” dapat dianalisis dengan teori lapis
makna. Diantaranya lapis makna yang pertama adalah subject matter, pada puisi tersebut mengandung pikiran pokok yang
merindukan kehadiran seseorang yang telah pergi, rindu akan hadirnya, sosoknya
yang selalu hadir menemaninya. awalnya dikira mampu untuk menjalaninya sendiri
namun nyatanya ludahnya dijilat sendiri. Seperti pada kutipan
“di
manakah dengus yang mendetakkan gairah
sedang
aromamu berseliweran menguntit raga
kueja
detak yang merangkak
bosan
berselimut kelam
adakah
peri mengirim isyarat di sunyi
sedang
kepergianmu menebus rindu”
Kemudian pada baris
selanjutnya dengan pikiran pokok, awalnya dikira mampu untuk menjalaninya
sendiri namun nyatanya ludahnya dijilat sendiri. Yang terdapat pada kutipan
“kutawar-tawar
rasa
muntah
kujilat kembali di lidah
ah
tak sanggup aku rupanya”
b. Kemudian analisis
yang kedua adalah berdasarkan feeling,
feeling adalah apa yang dirasakan penyair terhadap pokok pikiran dalam puisi
tersebut. Sehingga dapat diperoleh feeling dari puisi “Malam itu” adalah
penyair merasa kesepian dengan keadaan yang dialami, hari-hari yang dilewati
baginya menjadi hari yang tidak mudah sebab selalu terbayang-bayang dengan
tentangnya. Bagaimana mungkin ia mampu melewati hari-hari penuh rindu serta
bosan tanpa kehadirannya. Penyair menggambarkan dirinya sempat merasa sanggup
menerima keadaan tersebut namun sayangnya ia tak mampu.
c. Yang ketiga adalah tone, tone adalah sikap penyair terhadap
penikmat puisinya. Dalam puisi tersebut sikap penyair seperti pasrah kalah dalam
melawan perasaan rindu yang bergejolak dalam dirinya, kesannya penyair lebih
terkesan terbuka tidak menutup-nutupi yang dirasakan. Sehingga pembaca ikut
terbawa perasaan ketika membacanya.
d. Selanjutnya adalah total of meaning atau biasa disebut
totalitas makna yang dimana maksudnya adalah makna keseluruhan mengenai puisi
tersebut. Kemudian dapat diketahui totalitas maknanya adalah bahwa puisi
tersebut digambarkan penyair dengan makna bahwa, penyair tersebut merasa
kehilangan setelah kepergiannya. Sehingga ia merasa sedih tak mampu melawan
hari-harinya yang penuh rindu, semula ia merasa mampu melewatinya namun itu
semua ternyata tidak terbukti ia mampu melawan rasa sepinya.
e. Theme atau tema adalah penggambaran ide pokok dari puisi tersebut.
Pada puisi yang berjudul “Malam itu” memiliki tema tentang “Kesepian dan
kerinduan dalam dada”.
Puisi dengan
judul “Rambutmu”
a.
Subject matter yang terdapat
pada puisi tersebut adalah kebahagiaan yang digambarkan sang penyair melalui
bahasanya dalam mengungkapkan yang dirasa, dia merasa telah menemukan apa yang
dia cari selama ini sehingga dia merasa bahagia atau keindahan yang ada
didepannya saat ini biarkanlah indah apa adanya tanpa perlu dibuat-buat.
b.
Feeling yang terdapat
dalam puisi tersebut adalah bentuk sebait kisah kebahagiaan dari sang penyair,
bahagianya dapat kita lihat pada baris puisinya
“telah
kutemukan cermin hidupku
pada
rambutmu
saat
kujamah di pagi yang basah”
dari situ
penyair menggambarkan kebahagiaan hidupnya karena telah menemukan apa yang
dicari selama ini yang dapat dilihat pada kalimat “telah kutemukan cermin
hidupku”.
c.
Tone yang terdapat
dalam puisi itu adalah penyair lebih membawa puisi tersebut mengalir apa adanya
tidak terkesan angkuh ataupun menggurui, namun lebih terkesan apa adanya
sehingga pembaca yang membacanya bisa merasakan bagaimana rasa kagum dan
kesederhanaan yang dimiliki oleh penyair.
d.
Total of meaning dalam puisi
tersebut memiliki makna bahwa penyair telah menyimpan rasa kagum pada dia namun
lebih memilih menyembunyikan dan melukiskannya dalam bait-bait puisi yang di
tulis hingga suatu hari ia merasa senang karena merasa telah menemukan “cermin
hidup” yang dicari selama ini.
e.
Theme yang terdapat
dalam puisi “Rambutmu” adalah bertema “Kebahagiaan dibalik rambutmu”.
Puisi
dengan judul “ Mendung Berduri”
a.
Subject matter yang terdapat
dalam puisi tersebut adalah amarah yang terjadi karena rasa cemburu digambarkan
penyair dalam puisi tersebut melalui penggambaran baris balasan pesannya yang
singkat sekali. Hal itu membuat si penyair merasa terluka dan bingung tak tau
harus berbuat apa untuk meredakan rasa sepi dan sakit hati yang dialaminya
setiap hari.
b.
Feeling yang dapat kita
ketahui dari puisi tersebut adalah penyair merasa sedih, sakit hati dan
kebingungan harus berbuat apa karena harus menanggung perasaan itu setiap hari.
c.
Tone yang terdapat
dalam puisi itu adalah, penyair tersebut merasa sedih atas balasan pesan
singkatnya. Sehingga penyair menjadikan puisi-puisi tersebut seperti pertanyaan
yang banyak menimbulkan tanya bagi para pembacanya.
d.
Total of meaning yang didapat
dari puisi ini adalah penyair menggambarkan puisi tersebut dengan makna amarah
sekaligus rasa sedih yang dimiliki karena merasa terabaikan oleh dia. Sehingga
hal itu membuat penulis merasa terlka dan bingung harus melakukan apa untuk
meredakan yang dialaminya itu setiap hari.
e.
Theme yang terdapat
dalam puisi yang berjudul “Mendung Berduri” adalah bertema “Sedih karena
balasan pesanmu”.
3.
Teori
Postkolonial
Poskolonial
sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah
satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said
yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan
perspektif Barat dalam memandang Timur. Buku-buku Said seperti Covering Islam:
How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World
(1981) dan Culture and Imperialism
(1993) merupakan sekuel dari buku Orientalisme tersebut.
Teori
poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang
filsafat, film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya
yang terkait dengan peran kolonial. Bidang ini bukanlah menjadi monopoli kajian
sastra. Poskolonial mirip dengan kajian feminisme yang meliputi bidang kajian
humaniora yang lebih luas; sejajar dengan kajian posmodern atau postrukturalisme.
Dalam bidang sastra, teori poskolonial merupakan salah satu dari serangkaian
munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori strukturalisme mulai
dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam sejarahnya teori
sastra yang mula-mula yaitu teori mimesis pada zaman Plato di Yunani Kuno.
Perkembangan berikutnya yaitu teori pragmatis pada zaman Horace dari Romawi
abad ke-4 yang disusul dengan teori yang berorientasi pada ekspresionisme pada
abad ke-19. Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi pada strukturalisme
mendominasi kajian sastra.
Pada paruh abad
ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya sebatas
objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra
selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan
sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan
saling mengisi. Pada paruh akhir abad ke-20, selain strukturalisme yang
mengkaji karya sastra hanya berdasarkan strukturnya, ada juga sejumlah kajian
atau teori sastra yang melibatkan unsur kesejarahannya dan konteks sosialnya.
Teori-teori seperti cultural studies, new historisisme, dan poskolonial untuk
sekedar menyebut contoh merupakan kajian-kajian sastra yang menganalisis karya
sastra dalam konteks kesejarahannya ataupun konteks sosialnya. Poskolonial
merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang
berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik
maupun diakronik. Kajian poskolonial berusaha membongkar selubung praktik
kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu
kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang memiliki kekuatan baik sebagai
pembentuk hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai konter hegemoni.
Seperti yang
diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam dunia Barat
yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient). Sejumlah
karya seni itu telah melegitimasi praktik kolonialisme bangsa Barat atas kebiadaban
Timur. Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat
untuk memberadabkan bangsa Timur. Kajian Said ini memang berangkat dari teori
hegemoni Gramscian dan teori diskursus Foucaultian. Kata “post” yang dilekatkan
dengan kata “colonial” sebetulnya kurang tepat kalau diindonesiakan menjadi
“pasca”. Kasus ini mirip dengan pengindonesiaan kata “discourse” dalam istilah
Foucault yang tidak sama persis maknanya dengan kata “wacana”. Ada kekhususan.
Kata pascakolonial yang seringkali dijadikan terjemahan dari postcolonial
merupakan istilah yang mengacu pada permasalah “waktu setelah” kolonial.
Padahal poskolonial tidak hanya mengacu pada kajian sastra sesudah masa era
penjajahan, atau era kemerdekaan tetapi lebih luas mengacu pada segala yang
terkait dengan kolonialisme yang pada abad ke-21 hanya menyisakan Amerika
sebagai bangsa penjajah yang kesiangan. Konteks poskolonialisme juga mencakup
kasus globalisasi dan perdagangan bebas yang seringkali dianggap sebagai bentuk
neokolonialisme. Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga
poskolonial adalah kajian yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berupa
pasca atau permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti
terpisah dari kolonialisme.
Analisis Cerpen “Dalam Kejaran Sang Raksasa”
Dalam
cerpen yang berjudul “Dalam Kejaran Sang Raksasa” cerita di dalamnya diambil
dari cerita asli sebagaimana diceritakan oleh tokoh “Aku” yang digambarkan
dengan nama “Win” dalam cerita tersebut. Cerita tersebut menceritakan tentang
betapa jahatnya sosok yang disebut-sebut sebagai raksasa yang melahap segalanya
di sekitarnya, yang mengubah daratan perkampungan warga menjadi danau lumpur
luas dengan asap awan panas yang mengeluarkan bau yang merusak kesehatan. Raksasa
yang dimaksudkan dalam cerita ini bukanlah raksasa seperti yang biasa
dikisahkan pada cerita Timun Mas, apabila raksasa itu dilemparkan dengan empat
macam barang seperti biji mentimun, lidi dari bambu, kemudian terasi namun
semua usaha itu tidak membuahkan hasil dan yang ada malah raksasa itu semakin
melebar meluas melahap segala yang ada. Desa kami terjajah, bukan terjajah oleh
kompeni ataupun Belanda melainkan terjajah oleh semburan gas dari orang-orang
yang tidak bertanggung jawab.
“…
Seluruh kampung dan isinya telah menjadi fosil. Sedangkan para penghuninya
terpuruk dalam pengungsian dengan nasib tak menentu. Tangis dan air mata telah
menggumpal beku. Teriakan-teriakan parau telah mengeringkan tenggorokan. Aku
menerawang jauh. Mata terasa perih”
Dalam
kutipan diatas sangatlah jelas bagaiman penderitaan yang dialami atas kejadian
tersebut. Mau melawan juga sudah pasti hancur lebih dulu. Melawan sama saja
dengan setor nyawa pada raksasa itu. Sudah banyak usaha yang dilakukan untuk
melawan keadaan tersebut namun sayangnya banyak usaha telah dicoba dilakukan
namun hasilnya sama saja. Sudah dibangunkan tanggul yang lebih tinggi namun
raksasa itu tetap saja lebih kuat untuk menghancurkannya. Hingga daerah sekitar
itupun mati, rel kereta bahkan hampir hilang karena terkubur lumpur sehingga
ketika kereta melintas jalannya pelan-pelan agar tidak tergelincir. Rumah-rumah
penduduk pun hilang seperti tertelan bumi, dulunya masih terlihat bentuk
atapnya namun sekarang yang terlihat hanyalah lautan lumpur luas dengan bau
yang menyengat.
Beberapa
bentuk usaha kami untuk protes ke pemerintah hanya ditanggapi sekedar pemanis
janji tanpa ada usaha untuk menepatinya. Banyak cara yang telah warga lakukan,
bahkan warga setempat memblokade jalan raya dalam melakukan aksinya. Hal itu
dilakukan warga demi menuntut ganti rugi pada perusahaan pengeboran dan
pemerintah atas kerusakan dan kematian yang terjadi yang jumlahnya semakin hari
semakin banyak. Seperti pada kutipan berikut,
“Kematian
mertua membuat demo warga korban lumpur untuk minta ganti rugi pada perusahaan
pengeboran dan pemeritah makin menguat. Di samping memblokade jalan raya, ada
pula yang ngluruk ke Jakarta. Kemacetan panjang sering terjadi karena warga
menutup akses jalan raya. Bahkan warga juga mencegat truk-truk sirtu dan menumpahkan
muatannya di tengah jalan. Ketegangan dengan polisi tak terhindarkan, bahkan
kami pernah dikatakan sebagai penjahat karena memblokade jalan…”
Jauh
sebelum kejadian lumpur itu terjadi, aku sempat mengenal Marsinah, Timas dan
Lusi. Mereka bertiga adalah teman perempuanku, mereka adalah teman kerjaku.
Saat itu aku lebih mengenal dan dekat dengan Marsinah, sudah seperti saudara
sendiri. Bahkan kita sering melakukan pinjam meminjam uang yang sudah bukan
lagi menjadi hal yang baru. Marsinah sempat bercerita kepadaku mengenai Timas
yang menyukaiku. Usiaku waktu itu sudah memasuki bukan usia muda lagi, namun
aku sadar tanggung jawabku masih besar. Akhirnya setelah kupikir-pikir lagi
ucapan Marsinah, dengan mantap akupun memberanikan diri untuk melamar Timas.
Sungguh waktu yang sangat tidak kuharapkan waktu itu, karena saat aku melamar
Timas, aku melihat mata Lusi sempat berkaca-kaca. Kemudian akupun menikah
dengan Timas, hingga akhirnya aku mendambakan seorang anak darinya namun Timas
tak kunjung memiliki tanda-tanda kehamilan. Ia pun juga khawatir mandul. Hingga
akhirnya yang diharapkan pun terjadi, Timas mengandung anakku dan kami berharap
apabila dia laki-laki maka kuberi nama dia Saifullah, jika perempuan kuberi
nama Aisyah. Dan akhirnya telah lahir putraku kemudian kuberi nama dia
Saifullah. Sangat manis jika diingat tentang perjalanan hidupku pada masa itu
sebelum akhirnya semuanya berubah.
Saat
aku bekerja dengan istriku di pabrik jam, begitu juga dengan Marsinah dan Lusi.
Saat itu keadaan pabrik sedang tidak stabil sehingga Marsinah memberitahu
kepadaku bahwa harga mesin saat itu lebih berarti daripada harga manusianya.
Marsinah ingin memperjuangkan nasib buruh menjadi layak dan bisa digunakan
nabung untuk hari depan. Saat Marsinah memperjuangkan nasibnya belum sampai
nasibnya tercapai secara merata, sayangnya ia harus dijegal di Tugu Kuning saat
pulang bersama Timas. Lagi-lagi sang raksasa menjadi penyebabnya. Timas
berusaha menolong namun sang raksasa dengan cepat membetot tubuh Marsinah untuk
dimangsanya. Lagi-lagi kami dibuat kalah terpukul atas keadaan. Kami merasa
kehilangan. Perjuangan Marsinah tak terlupakan sepanjang hidup kami.
Tragedi
yang menimpa Marsinah membuat ketakutan para buruh di pabrik jam, mereka
khawatir raksasa itu akan mencari mangsa lagi. Diam-diam Lusi pindah ke pabrik
lain, namun sialnya nasib buruk tetap mengejarnya. Di tempat kerjanya yang baru
Lusi mengalami musibah, tiga jari kanannya patah dan kabar pernikahannya tidak
jelas karena calon suaminya melarikan diri dengan wanita lain. Lusi kemudian
hilang kabarnya hingga aku beranggapan bahwa ia sudah ditelan raksasa juga.
Kejadian
demi kejadian terus terjadi, aku ingat saat setellah kejadian itu putraku lahir
yang kuberi nama Saifullah. Dan sedihnya setelah itu pabrik tempat
penghasilanku satu-satunya telah ditutup karena raksasa itu telah muncul lagi. Raksasa
itu merenggut semua harta benda yang telah aku dan Timas kumpulkan sedikit demi
sedikit kini telah ludes terendam lumpur.
“…Pabrik
jam tempat kami bekerja telah tenggelam. Habis sudah sumber kehidupan kami.
Harta benda yang kami kumpulkan seikit demi sedikit bersama Timas telah hancur
di dasar lumpur…”
Dengan
keadaan seperti itu akhirnya kami sekeluarga (aku, Timas, Saiful, dan ibu
mertua) pindah ke barak pengungsian. Namun saat ditengah perjalanan terjadi
ledakan hebat pada pipa gas di dekat kami. Pipa itu meledak menyemburkan lumpur
panas dari dasar bumi, lagi-lagi raksasa itu memakan korban. Ibu mertuaku
menjadi korbannya, sedangkan aku dan anakku masih mampu bangkit. Sedangkan
Timas mengalami luka parah. Semakin hari semakin banyak korban berjatuhan. Area
pemakaman pada desa tersebut sudah terendam, ibu mertua kami makamkan di tempat
pengungsian.
Dengan
adanya banyak korban tersebut menguatkan demo warga kepada pemerintah, banyak
anggota pemerintah seperti parlemen, para pejabat mendatangi kawasan tersebut.
Banyak warga yang menuntut ganti rugi atas kehilangan nyawa dan harta benda
yang dimilikinya selama ini. Raksasa itu dengan tiba-tiba telah menghancurkan
masa depan anak bangsa, bukan hanya itu saja raksasa itu juga dengan cepat
membetot harta benda yang dimiliki warga setempat, jika sudah terjadi yang
demikian lalu siapa yang bisa dimintai tanggung jawab atas kejadian tersebut?
Orang pejabat diatas saling menyalahkan namun enggan mencarikan solusi apalgi
memberikan kontribusi.
“…Ucapan
belasungkawa mengalir deras seperti semburan lumpur. Para pejabar, anggota
darma wanita, parlemen, lembaga swadaya masyarakat, penyanyi, bintang film, dan
orang-orang jauh mendatangi kami. Mereka ada yang membantu kami, ada pula yang
bertamasya melihat penderitaan kami dengan menaiki tanggul dan mengambil gambar
dengan kameranya. Ada juga yang berpose mesra saat difoto dengan latar belakang
lautan lumpur lapindo.”
Atas
kejadian kematian ibunya Timas hanya diam membeku, hal inilah yang membuat Win
semakin terpuruk dengan keadaan yang dirasakannya. Pandangan Timas kosong,
tatapannya nerawang dan wajahnya membeku. Kini Win akhirnya merelakan Timas
untuk dirawat di rumah sakit jiwa. Timas dirawat di rumah sakit jiwa Porong.
Rumah sakit itu menjadi tempat penampungan korban dampak semburan lumpur
sehingga antara banyaknya pasien dengan petugas rumah sakit tidak sebanding
banyaknya. Dalam kondisi yang demikian banyak pasien yang kabur, begitu juga
dengan Timas dia melarikan diri dari rumah sakit tersebut. Sudah kucari
kemana-mana namun takpernah ketemu. Hingga akhirnya akupun beranggapan lagi
bahwa Timas ikut ditelan oleh raksasa.
Semburan-semburan
lumpur pada desa-desa menjadi semakin parah, banyak permukaan tanah yang
ambles. Wilayah bencana sudah meluas kemana-mana. Banyak tanggul yang jebol.
Banyak bermunculan gas-gas baru dan mengeluarkan gas yang mudah terbakar.
Banyak korban yang terus bergelimpangan. Banyak yang menderita gangguan
pernafasan, karena raksasa itu sudah berubah menjadi gas-gas yang mudah dihirup
manusia kemudian gas tersebut merusak kerja organ tubuh manusia terutama pada
pernafasan. Kondisi warga sudah mulai berubah, mereka sudah tak kompak lagi.
Tujuan dan keinginan mereka sudah berbeda-beda. Anakku, Saiful terus bertanya
dimana keberadaan ibunya Timas. Tiapkali ditanya aku menjawabnya dengan bujukan
bahwa ibunya sebentar lagi pulang. Namun dia tetap kokoh pendirian menunggu ibunya
kembali diatas tanggul itu. Saat itu cuaca sedang hujan dengan angin kencang,
aku mengajak Saiful pulang dengan susah payah kubujuk terus sampai akhirnya dia
mau. Namun sayangnya Saiful berbalik badan dan mengejar dimana ibunya
tenggelam, aku sudah berusaha mengejarnya namun hasilnya sia-sia. Hujan telah
mengantarkan Saiful pada tempat ibunya tenggelam, dan Win hanya bisa mencoba
bangkit kembali di atas tanggul itu bersama tubuh yang mengigil kedinginan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
M. Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri
Pak Lurah. Lamongan: PustakaIlalang.
(dikutip dari
Nurfirdaus, Evita. 2016. Lapis Bentuk
(Struktur), Lapis Makna, dan Ragam dalam Puisi. https://indahnyaberpuisiitu.wordpress.com/2016/02/08/lapis-bentuk-struktur-lapis-makna-dan-ragam-dalam-puisi/ pada tanggal 14 Juli
2017)
Nurhadi. Poskolonial
Sebuah Pembahasan. Yogyakarta.
staffnew.uny.ac.id/.../POSKOLONIAL+SEBUAH+PEMBAHASAN.pdf (diunduh
pada tanggal
21 Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar